Langsung ke konten utama

Peranan Profesi dalam Masalah Profesional
Oleh :
Agung Widiyarti
Agung_widiyarti@yahoo.com

Perkembangan ekonomi yang meningkat setiap tahun telah menimbulkan berbagai dampak dalam dunia usaha. Baik itu dampak positif dalam dunia bisnis maupun dampak negatif. Untuk itulah perlu adanya peranan dari para profesional dalam mengatasi berbagai dampak yang ada.  

Salah satu hal yang dapat memicu masalah Profesional adalah kualitas hasil laporan keuangan suatu perusahaan. Keterbukaan dalam penyajian laporan Keuangan dan tingkat Kewajaran Laporan Keuangan ini lah yang mudah untuk di manipulasi data demi mendapatkan Kewajaran dari suatu Laporan yang disajikan kepada Publik. Untuk itulah perlu ada nya peranan Profesional baik Intern seperti dari auditor dan akuntan yang profesional maupun eksternal perusahaan seperti peranan KAP, konsultan Pajak, maupun lembaga Independen lainnya yang bertugas untuk memastikan kewajaran atas laporan keuangan.

Independen suatu badan tersebut tentunya didukung oleh orang – orang yang memiliki profesionalisme yang tinggi yang dapat melakukan tugasnya, karena hasilnya diharapkan dapat berkontribusi dalam pengambilan keputusan oleh semua pihak. Dalam satu tahun sekali biasanya akan dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) untuk meminta pertanggung jawaban dari manajemen perusahaan dalam bentuk laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit oleh pihak luar.
Seorang auditor dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak hanya bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan juga untuk kepentingan pihak lain yang mempunyai kepentingan atas laporan keuangan yang sudah di audit. Jadi, agar klien dan para pemakai laporan keuangan lainnya dapat mempertahankan kepercayaan dari auditor maka auditor dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai. Menurut Statement of Financial Accounting Concept ( SFAC ) nomor 2, menyatakan bahwa relevansi dan reabilitas adalah dua kualitas utama yang membuat informasi akuntansi berguna untuk pembuatan keputusan. Untuk mencapai kualitas yang relavan dan reliabel maka laporan keuangan perlu di audit oleh lembaga independen untuk memberikan jaminan kepada pemakai laporan keuangan telah disusun sesuai dengan kaidah yang sudah ditetapkan, yaitu Standar Akuntansi Keuangan        ( SAK ) yang berlaku di Indonesia.

Pertimbangan auditor tentang materialitas adalah suatu masalah kebijakan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor tentang kebutuhan yang beralasan dari laporan keuangan. Tingkat materialitas suatu laporan keuangan tidak akan sama tergantung pada ukuran laporan keuangan tersebut. Tingkat materialitas juga tergantung pada dua aspek yaitu aspek kondisional dan aspek situasional sehingga banyak tanda tanya apakah dalam mempertimbangkan besarnya salah saji tersebut sebenarnya auditor mampu menyajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum atau sebenarnya auditor ikut terlibat secara sengaja membiarkannya agar kualitas dan kuantitas laporan keuangan menjadi lebih bagus sehingga informasi keuangan pun akan lebih bagus. Apabila hal itu dilakukan secara sengaja oleh auditor maka akan menjadi sesuatu hal kecurangan yang dilakukan oleh auditor untuk menjaga supaya auditor tidak kehilangan klien.

Review Kasus Yang Menyimpang Secara Profesional
Kasus Mulyana W. Kusuma
(Sumber : Dr Muchamad Syafruddin MSi Akt, dosen FE Undip)
Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU diduga menyuap anggota BPK yang saat itu akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik daripada sebelumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya.

Setelah lewat satu bulan, ternyata laporan tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu tambahan. Di saat inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni Salman Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerjasama dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka. Penangkapan ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pihak berpendapat auditor yang bersangkutan, yakni Salman telah berjasa mengungkap kasus ini, perbuatan tersebut karena hal tersebut telah melanggar kode etik akuntan.

Ditinjau dari setting teori keagenan ( agency theory ), ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini, yaitu ( 1 ) pihak pemberi kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ), dan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ), ( 2 ) pihak penerima kerja untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam hal adalah KPU, dan  ( 3 ) pihak independen, dalam hal ini adalah BPK sebagai auditor, yang perannya diharapkan sebagai pihak independen, berintegritas, dan kredibel, untuk meyakinkan kepada dua pihak sebelumnya, yaitu pemerintah dan DPR sebagai pemberi kerja, dan KPU sebagai penerima kerja.

Pemberi kerja mendelegasikan wewenang dengan ketentuan – ketentuan  tertentu, dan KPU telah menjalankan tugasnya sesuai dengan fakta – fakta empiris. Berdasarkan setting teori keagenan di atas dan mencuatnya kasus Mulyana W Kusumah, maka pertanyaan yang muncul adalah, etiskah tindakan ketiga pihak tersebut? Artikel ini mencoba menganalisa dan menyimpulkannya dalam perspektif teori etika.

a.        Etika
Sebagaimana dinyatakan Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai – nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai.
Dalam praktik hidup sehari – hari, teoritisi di bidang etika menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, ada dua pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatan deontological dan pendekatan teleological. Pada pendekatan deontological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana orang melakukan usaha  ( ikhtiar ) dengan sebaik – baiknya dan mendasarkan pada nilai – nilai kebenaran untuk mencapai tujuannya. Sebaliknya, pada pendekatan teleological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya, dengan kurang memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun prosedur yang dilakukan benar atau salah.
Dari teori etika, profesi pemeriksa ( auditor ), apakah auditor keuangan publik seperti kasus keuangan KPU maupun auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan perusahaan – perusahaan, baik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi. Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai – nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggungjawab ( responsibilities ), berintegritas ( integrity ), bertindak secara objektif ( objectivity ) dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak ( independence ), dan hati – hati dalam menjalankan profesi  ( due care ). Dalam konteks kode etik profesi akuntan inilah, kasus Mulyana W Kusumah dianalisis, apakah tindakan mereka ( ketiga pihak ), melanggar etika atau tidak.
b.        Tindakan Auditor BPK
Dalam konteks kasus Mulyana W Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga ( auditor ), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama – sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan ' mulia ', yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU.
Tujuan yang benar, etis, dan moralis, yakni untuk mengungkapkan kemungkinan adanya kerugian yang diterima oleh pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK, harus dilakukan dengan cara – cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga, menjunjung, menjalankan dan mendasarkan pada etika profesi.
Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi. Dari sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan. Berdasar pada prinsip hati – hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan profesinya.
Apa yang harus dilakukan auditor BPK adalah bahwa dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi akuntan, pasti akan terungkap hal – hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau memang terjadi. Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap kemampuan profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran bisa dilakukan segala macam cara, termasuk cara – cara tidak etis, sekaligus tidak moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan.
c.         Etiskah Tindakan KPU ?
Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis dan juga tidak moralis. Secara alami ( natural ) dan normatif, pihak penerima kerja          ( agen ) akan dengan senang hati untuk diaudit ( diperiksa ) untuk meyakinkan pada pihak pemberi kerja ( principal ), dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan dan telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada nilai – nilai kebenaran, etis, dan moralis.
Dengan melakukan imbalan sejumlah uang dalam pertemuannya dengan auditor BPK, maka ada indikasi kuat KPU telah bertindak tidak etis, tidak benar, dan tidak moralis yang ujungnya adalah dugaan korupsi.
KPU tampaknya tidak paham bagaimana menempatkan diri sebagai penerima dan yang menjalankan amanah. Mengapa tindakan KPU dalam menjalankan amanah pemberi kerja harus diaudit, tampaknya tidak dipahami oleh yang bersangkutan. Ada kesan bahwa audit adalah proses yang hampir pasti mencari ( sering dipahami mencari – cari ) dan menemukan sejumlah kesalahan, kecurangan, ataupun tindakan korupsi yang bisa diatur dan ditentukan semaunya oleh auditor.
Kalau di KPU pengelolaan sejumlah dana telah dilakukan dengan benar, akuntabel, transparan, dan bertanggungjawab, maka tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan sehingga muncul inisiatif untuk menggunakan sejumlah uang dalam rangka mencapai 'aman' pada proses pemeriksaan. Ataukah memang telah terjadi kecurangan, kebohongan, dan korupsi, sehingga KPU harus menggunakan sejumlah uang untuk main mata dengan pihak auditor BPK ?
Banyak didengar oleh masyarakat bahwa semua proses pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh BPK, BPKP, Irjen, Bawasda, maupun pihak lain – lain, sering menggunakan sejumlah uang untuk mencapai rasa 'aman' atas tindakan pengelolaan uang.
d.        Tindakan Pemberi Kerja
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Atas kasus Mulyana W Kusumah, etiskah tindakan pihak pemberi kerja, pemerintah Indonesia, DPR dan KPK ?
Secara teoritis – normatif, ketika pemberi kerja mempercayakan pengelolaan sejumlah aset atau dana kepada pihak kedua, maka pihak pemberi kerja seharusnya juga menyampaikan paket sistem informasi guna memonitor dan mengendalikan tindakan penerima kerja secara rutin. Apakah pemberi kerja paham akan adanya information assymetri ?, yaitu penerima kerja mempunyai informasi yang jauh lebih lengkap, baik kualitas maupun jumlahnya dalam mengelola aset atau dana yang berasal dari pemberi kerja ? Dalam situasi seperti ini, maka pihak ketiga ( auditor ) harus disewa untuk meyakinkan bahwa pihak penerima kerja telah menjalankan tanggungjawabnya dengan benar, transparan, dan akuntabel.
Secara periodik, pihak pemberi kerja seharusnya minta informasi, baik dari penerima kerja maupun dari pihak auditor. Dari uraian ini, kita bisa jawab bahwa baik pemerintah ( diwakili Menteri Keuangan ) dan DPR tidak menjalankan fungsinya sebagai pemberi kerja. Sekilas tindakan ini mengesankan tindakan yang tidak etis. Andaikan proses pemberian kerja yang diikuti dengan aliran uang ke KPU kemudian ada aliran uang keluar dari KPU ( belanja ) dimonitor dengan benar, transparan dan akuntabel, tindakan kecurangan, termasuk kemungkinan korupsi yang bisa jadi dilakukan penerima kerja ( KPU ), bisa dicegah dengan optimal.
e.         Butuh Waktu
Belajar dari kasus Mulyana W Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh pemerintahan yang kredibel, akuntabel, dan transparan, sehingga tidak terjadi kecurangan atau korupsi. Mengapa demikian, sebab untuk menjadi pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan, dan semua ini butuh waktu dan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Seandainya saja, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dan DPR sebagai pemberi kerja dan penyalur dana mempunyai kemampuan teknis bagaimana meyakinkan bahwa dana yang disalurkan telah dikelola dengan benar, transparan, dan akuntabel oleh penerima kerja, maka pencegahan korupsi bisa dijalankan.
Seandainya saja penerima kerja sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa dana yang diterima atau disalurkan pemerintah merupakan dana dari rakyat dan karenanya harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan benar, transparan dan akuntabel, maka satu poin lagi korupsi bisa dikurangi secara sistematis.
Adaikan saja, auditor di seluruh Indonesia, termasuk dari BPK sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa berat memegang amanah dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari rakyat yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya secara benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas korupsi di negeri ini. (29)
Analisa Atas Kasus Diatas
Auditor atau pihak BPK melakukan tindakan yang kurang etis, karena tidak seharusnya auditor melakukan jebakan untuk mengungkapkan kasus ini. Seharusnya pihak auditor melakukan pengauditan dengan menjunjung tinggi peraturan yang ada pada auditor. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja. Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis dan juga tidak moralis. Secara alami ( natural ) dan normatif, pihak penerima kerja ( agen ) akan dengan senang hati untuk diaudit ( diperiksa ) untuk meyakinkan pada pihak pemberi kerja ( principal ), dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan dan telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada nilai – nilai kebenaran, etis, dan moralis.
Etika Profesi
Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode etik ini mengikat para anggota IAI di satu sisi dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI di sisi lainnya. Kode Etik Profesi Akuntan Publik ( sebelumnya disebut Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik ) adalah aturan etika yang harus diterapkan oleh anggota Institut Akuntan Publik Indonesia dan staf profesional yang bekerja pada KAP.
Ada dua sasaran dalam kode etik ini, yaitu pertama, kode etik ini bermaksud untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari para profesional. Kedua, kode etik ini bertujuan untuk melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku – perilaku buruk orang – orang tertentu yang mengaku dirinya profesional.
Referensi
Ikatan Akuntan Indonesia. 2012. Standar Profesional Akuntan Publik
Muhyiddin. 2015. Pengaruh Profesionalisme, Integritas, Obyektifitas, Akuntabilitas, serta Pengalaman Auditor terhadap Tingkat Materialitas dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan. Konferensi Jurnal Nasional Akuntansi 10. Universitas Negeri Jakarta.
Mulyadi. 2002. Auditing. Jakarta: Salemba Empat.
Pusdiklatwas BPKP. 2005. Auditing, Edisi ketiga, Modul Diklat Pembentukan Auditor Ahli Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) Edisi Maret 2012.
www.antara.co.id diakses pada tanggal 10 Oktober 2014
www.khal25.wordpress.com diakses pada tanggal 10 oktober 2014


Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta
2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN AKUNTANSI FORENSIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Venti Eka Satya* 1 . Pendahuluan Istilah akuntansi forensik mulai dikenal luas di Indonesia sejak terjadinya krisis keuangan tahun 1997. Krisis yang semakin memburuk telah memaksa pemerintah untuk melakukan pinjaman pada IMF dan World Bank. Untuk memperoleh pinjaman, kedua lembaga tersebut mengharuskan dilaksanakannya Agreed-Upon Due Dilligence Process (ADDP) yang dilakukan oleh akuntan asing dan beberapa akuntan Indonesia.                 Temuan awal ADDP ini menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap dunia usaha . Sampel ADDP di enam bank menunjukkan perbankan melakukan overstatement di sisi aset ( assets ) dan understatement di sisi kewajiban ( liabilities ), (lihat Tabel 1.). [1] Tabel 1. Perbandingan Asset dan Liability LK (Laporan Keuangan) Bank dengan Temuan ADDP No. Nama Bank Aset per 30 April 1998 ...
ANALISIS KASUS WISMA ATLET PALEMBANG A.       Latar Belakang Pembangunan wisma atlet untuk SEA Games 2011 di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan diwarnai kasus suap dari direksi PT Duta Graha Indah yang memenangkan tender proyek. Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Wafid Muharram resmi dijadikan tersangka karena pengusutan KPK yang mendapati uang Rp 3,2 miliar dan uang ribuan dollar. Wafid Muharram tidak hanya mendapatkan dana talangan dari petinggi PT Duta Graha Indah, Mohamad El Idris, yang juga menjadi tersangka dalam kasus itu . Salah satu tersangka lain dalam kasus ini, Mindo Rosaline Manullang, mengungkapkan, Wafid pernah meminta bantuannya untuk mencarikan dana. Wafid, menurut Rosa, membutuhkan dana talangan untuk operasional SEA Games ke-26 yang akan berlangsung di Palembang, Sumatera Selatan . Dalam penangkapan ketiganya, pada Kamis (21/4) lalu, penyidik KPK menyita tiga cek senilai Rp 3,2 miliar yang diduga sebagai uang sua...
KASUS AUDIT INVESTIGATIF Kasus Hambalang Andika Hamam Arifin Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis bahwa proyek bernilai Rp1,2 triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Pelajar Tingkat Nasional (National Training Camp Sport Center). Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan yang representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu, Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa Hambalang, Citeureup...