Langsung ke konten utama
Permasalahan Dalam Pemeriksaan Pajak
Clarinta Wida Suwasti
Universitas Islam Indonesia
Maksi12

Pemeriksaan pajak, merupakan serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Adanya sistem self assesment dalam peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia yang mulai diterapkan pada reformasi sistem perpajakan tahun 1983 yang sangat berpengaruh bagi WP. Sistem tersebut memberi kepercayaan Wajib Pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang tetapi di sisi lain mengharuskan WP untuk siap menghadapi pengujian kepatuhan atas pajak yang dilaporkan. Sebagai konsekuensinya DJP berkewajiban untuk melakukan pelayanan, pengawasan, pembinaan, dan penerapan sanksi perpajakan. Salah satu bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap WP tersebut adalah melalui pemeriksaan pajak.

Walaupun adanya sistem self assesment, pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh fiskus sampai saat ini masih merupakan hal yang menakutkan atau “momok” dan terkesan angker bagi WP karena selama ini masih sangat banyak WP yang tidak memahami apa sesungguhnya hakekat pemeriksaan itu sendiri, atau karena pengalaman empiris WP terhadap pemeriksaan memang menunjukkan fakta yang demikian. Hal tersebut bisa terjadi karena masih adanya oknum fiskus (pemeriksa) yang berprilaku menakutkan sehingga image pemeriksaan sebagai “hantu perpajakan” sulit untuk dihilangkan.

Untuk itu diperlukan praktek perpajakan yang sehat, sehingga membuat sebuah pemeriksaan tidak lagi dipandang sebagai hal yang menakutkan dengan menekankan pada
1.  meningkatkan profesionalisme petugas pemeriksa melalui pendidikan pemeriksaan pajak berkelanjutan dan komprehensif yang tidak hanya memahami tugasnya sebagai pemeriksa tetapi juga memahami siapa yang diperiksa, sejalan dengan yang dinyatakan reformasi ditubuh DJP yang mulai menempatkan dirinya sebagai agen pelayanan kepada WP, sehingga DJP dituntut untuk memahami WP secara utuh, atau diistilahkan “knowing your tax payer”
2.    meningkatkan penanaman moral dan etika bagi pemeriksa, sehingga pemeriksa dapat menghilangkan image pemeriksaan yang menakutkan karena ulah oknum Fiskus yang tidak bermoral, memeras dan mengintimidasi WP, dan yang terpenting lagi adalah hilangkan target pribadi pemeriksa yang ingin memperoleh “pendapatan ekstra” atau dalam bentuk lain “kenaikan pangkat/penghargaan”.
3.  Menggunakan pemeriksaan (audit) yang digunakan acuan adalah ”substantive over form” artinya apabila ditemukan bukti-bukti yang mendukung kebenaran transaksi yang dilakukan oleh WP secara material harus dianggap benar.

Dengan demikian, pemeriksaan pajak tidak lain merupakan pagar penjaga agar WP tetap berada pada koridor peraturan perpajakan. Selanjutnya, DJP berkewajiban pula untuk melakukan penegakan hukum (law enforcement) agar proses dan pelaksanaan sistem self assessment tersebut tetap berada pada aturannya, baik undang-undang maupun peraturan lainnya. Penegakan hukum ini menjadi upaya untuk menciptakan keadilan melalui penerapan peraturan perpajakan secara fair, konsisten, dan konsekuen.

Pengawasan terhadap WP perlu dilakukan guna meningkatkan kepatuhan, yang diharapkan akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak. Tapi pengawasan yang dilakukan selama ini belum maksimal karena tidak didukung data yang diperlukan, belum lagi adanya pemeriksaan yang masih disalahgunakan oleh “oknum pemeriksa” untuk melakukan hal-hal yang negatif terhadap wajib pajak misalnya melakukan pemerasan terhadap Wajib Pajak.
Untuk mengatasi pemeriksaan yang masih disalahgunakan oleh oknum tertentu maka pihak DJP bekerjasama dengan berbagai pihak agar oknum fiskus tidak sewenang-wenang dengan WP misalnya memeras WP. Hal terebut sudah dilakukan oleh pihak DJP salah satunya adanya whister blowing yang ada di sistem DJP dan bekerja sama dengan pihak KPK.


Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta
2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN AKUNTANSI FORENSIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Venti Eka Satya* 1 . Pendahuluan Istilah akuntansi forensik mulai dikenal luas di Indonesia sejak terjadinya krisis keuangan tahun 1997. Krisis yang semakin memburuk telah memaksa pemerintah untuk melakukan pinjaman pada IMF dan World Bank. Untuk memperoleh pinjaman, kedua lembaga tersebut mengharuskan dilaksanakannya Agreed-Upon Due Dilligence Process (ADDP) yang dilakukan oleh akuntan asing dan beberapa akuntan Indonesia.                 Temuan awal ADDP ini menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap dunia usaha . Sampel ADDP di enam bank menunjukkan perbankan melakukan overstatement di sisi aset ( assets ) dan understatement di sisi kewajiban ( liabilities ), (lihat Tabel 1.). [1] Tabel 1. Perbandingan Asset dan Liability LK (Laporan Keuangan) Bank dengan Temuan ADDP No. Nama Bank Aset per 30 April 1998 ...
ANALISIS KASUS WISMA ATLET PALEMBANG A.       Latar Belakang Pembangunan wisma atlet untuk SEA Games 2011 di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan diwarnai kasus suap dari direksi PT Duta Graha Indah yang memenangkan tender proyek. Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Wafid Muharram resmi dijadikan tersangka karena pengusutan KPK yang mendapati uang Rp 3,2 miliar dan uang ribuan dollar. Wafid Muharram tidak hanya mendapatkan dana talangan dari petinggi PT Duta Graha Indah, Mohamad El Idris, yang juga menjadi tersangka dalam kasus itu . Salah satu tersangka lain dalam kasus ini, Mindo Rosaline Manullang, mengungkapkan, Wafid pernah meminta bantuannya untuk mencarikan dana. Wafid, menurut Rosa, membutuhkan dana talangan untuk operasional SEA Games ke-26 yang akan berlangsung di Palembang, Sumatera Selatan . Dalam penangkapan ketiganya, pada Kamis (21/4) lalu, penyidik KPK menyita tiga cek senilai Rp 3,2 miliar yang diduga sebagai uang sua...
KASUS AUDIT INVESTIGATIF Kasus Hambalang Andika Hamam Arifin Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis bahwa proyek bernilai Rp1,2 triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Pelajar Tingkat Nasional (National Training Camp Sport Center). Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan yang representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu, Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa Hambalang, Citeureup...