Langsung ke konten utama
PERAN AKUNTANSI FORENSIK DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Venti Eka Satya*

1. Pendahuluan
Istilah akuntansi forensik mulai dikenal luas di Indonesia sejak terjadinya krisis keuangan tahun 1997. Krisis yang semakin memburuk telah memaksa pemerintah untuk melakukan pinjaman pada IMF dan World Bank. Untuk memperoleh pinjaman, kedua lembaga tersebut mengharuskan dilaksanakannya Agreed-Upon Due Dilligence Process (ADDP) yang dilakukan oleh akuntan asing dan beberapa akuntan Indonesia.
                Temuan awal ADDP ini menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap dunia usaha. Sampel ADDP di enam bank menunjukkan perbankan melakukan overstatement di sisi aset (assets) dan understatement di sisi kewajiban (liabilities), (lihat Tabel 1.).[1]
Tabel 1.
Perbandingan Asset dan Liability LK (Laporan Keuangan) Bank dengan Temuan ADDP
No.
Nama Bank
Aset per 30 April 1998
Kewajiban per 30 April 1998
Bank
ADDP
Over Statement
Bank
ADDP
Under Statement
1.
Danamon
26,0
14,0
54%
25,0
37,0
33%
2.
BUN
15,6
11,3
28%
15,4
21,3
28%
3.
Modern
3,1
1,8
43%
3,0
3,1
3%
4.
BDNI
24,0
6,0
82%
32,3
48,5
33%
5.
TIARA
4,3
1,1
54%
4,5
4,9
10%
6.
PDFCI
4,4
1,1
75%
4,3
4,9
14%
Sumber: Tuanakota, 2014
Berdasarkan hasil ADDP ini, bank-bank kita dikelompokkan dalam tiga kategori. Kelompok A dengan capital Adequacy ratio (CAR) sebesar atau lebih dari 4%. Kelompok B, antara -25% sampai dengan kurang dari 4%. Kelompok C, di bawah -25%. Proses ADDP tidak lain adalah audit investigatif.
                Jejak suses akuntansi forensik di Indonesia mulai terlihat jelas ketika kasus Bank Bali, dimana Pricewaterhouse Coopers selaku akuntan yang melakukan pemeriksaan pada Bank Bali berhasil menunjukkan sejumlah aliran dana dari orang-orang tertentu. Akan tetapi sistem pengadilan di Indonesia pada saat itu tidak berhasil menghukum para banker yang terdeteksi menerima aliran dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), beberapa banker tersebut dengan mudah melarikan diri ke luar negeri.
Selanjutnya di tahun 2005,  Kasus Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kasus Bank Negara Indonesia dapat diselesaikan dari segi akuntansi forensik dan sistem pengadilan. Kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum berhasil dibongkar oleh BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) yang bertindak selaku akuntan forensik dan berhasil diselesaikan di pengadilan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada kasus Bank Century sedikit berbeda, meskipun yang melakukan audit investigatif adalah BPK, akan tetapi pemeriksaan aliran dana dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hasil audit investigasi I dan II yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah berhasil mengungkap satu-satu persatu aliran dana bail out Bank Century tersebut.
                Di Indonesia akuntansi forensik sektor publik lebih menonjol daripada di sektor privat. Hal ini terlihat dari besarnya peran para akuntan forensik dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), BPK dan aparat pengawasan internal pemerintah yang tergabung dalam Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Terutama setelah dilakukannya pembaharuan dalam pengelolaan keuangan negara, seperti telah dikeluarkannya paket undang-undang di bidang keuangan negara yakni UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Meskipun telah banyak upaya yang dilakukan seperti pembaharuan di bidang pengelolaan keuangan negara serta peningkatan dan penguatan lembaga-lembaga penegak hukum, akan tetapi tidak pidana korupsi masih sulit untuk dikendalikan. Terbukti dari masih banyaknya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara yang berindikasi tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi terus berkembang dari tahun ke tahun baik dari segi aspek jumlah kasus, kerugian yang ditimbulkannya maupun kualitas tindak pidana yang dilakukan.
                Tujuan dari pembaharuan pengelolaan keuangan negara adalah untuk menghilangkan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara yang banyak terjadi, namun tampaknya tujuan tersebut masih belum tercapai. Terbukti dengan masih banyaknya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara yang berindikasi tindak pidana korupsi. Tingginya intensitas kejadian praktik korupsi di Indonesia telah dipersepsikan  sedemikian parahnya oleh berbagai pihak, seperti yang dilaporkan oleh Tranparency International (TI, 2008), Indonesia Corruption Watch (ICW, 2008), Global Corruption Barometer (GCB, 2007) dab Bribe Payer’s Index (BPI, 2006) serta Laporan Hasil Penelitian Kompas tanggal 21 Juli 2008, yang menyimpulkan bahwa korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua (Tuanakota, 2009, dalam Kayo, S.A.). Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara pada akhirnya telah menjadi penghambat kesejahteraan rakyat. Sejak tahun 2004 sampai dengan September 2012 sudah sebanyak 131 orang penyelenggara negara tersangkut pidana korupsi yang sudah diberikan persetujuan dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk dilakukan penyelidikan hukum (Dipo Alam: 28 September 2012, dalam Kayo, S.A.).[2]
                Berbagai lembaga survey atau penelitian baik di Indonesia maupun di luar negeri menyebutkan bahwa fenomena korupsi di Indonesia sudah sangat parah dan kondisi tersebut sering menempatkan Indonesia dalam kelompok negara terkorup. Dari hasil pemeriksaan BPKP dan Kejaksaan Agung sebagai tindak lanjutnya, telah cukup banyak kasus korupsi ditemukan berasal dari sektor pemerintahan. Bahkan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh BPKP dengan mengambil responden dari berbagai kalangan di masyarakat menunjukkan bahwa instansi/lembaga atau kegiatan-kegiatan pemerintahan dianggap oleh masyarakat paling banyak melakukan korupsi.[3]
                Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat, tidak hanya masyarakat Indonesia bahkan masyarakat internasional. Dengan ditetapkannya kejahatan korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi berisi mengenai tindakan pemerintah yang memerintahkan semua aparat di pusat dan daerah menjalankan langkah-langkah apapun untuk memberantas korupsi. Upaya tersebut antara lain melalui sistem pengawasan ketat dalam pelayanan pajak dan imigrasi, mengawasi pengeluaran dan pendapatan, meningkatkan pelayanan masyarakat di pusat dan daerah, serta membawa ke meja hijau setiap kasus korupsi. Dalam rangka upaya percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut, sebagai badan yang memiliki tujuan yang sama untuk memberantas tindak pidana korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan dan Pengadilan harus membuktikan kecurigaan mereka kepada seseorang mengenai apakah seseorang tersebut melakukan korupsi atau tidak. Pengusutan ini sangat sulit dilakukan karena berkaitan dengan bidang tertentu di luar hukum, yaitu bidang keuangan negara atau perekonomian negara. Agar dapat membuktikan apakah seseorang melakukan korupsi harus didukung oleh alat bukti yang memiliki tingkat pembuktian yang kuat.[4]
                Arvind Jain dalam Amrizal S. K.[5] menyatakan bahwa korupsi sering terjadi di negara demokrasi. Dalam negara demokrasi kemungkinan terjadi korupsi dalam proses pemilihan pemimpin, teknokrat dan legislatif sangat besar. Pemetaan interaksi antar para pelaku politik dan ekonomi membantu memberikan gambaran tentang potensi korupsi. Terdapat empat bentuk interaksi yang berpotensi menimbulkan korupsi yaitu: 1) interaksi antara rakyat dengan pemimpin negara, 2) interaksi antara birokrat dengan anggota legislatif, antara birokrat dengan rakyat, antara birokrat dengan pemimpin Negara, 3) interaksi antara pemimpin negara dengan anggota legislatif. 4) interaksi antara rakyat dengan anggota legislatif.
            Ilmu forensik adalah ilmu yang digunakan untuk penyelidikan kriminal dalam rangka mencari bukti yang dapat digunakan dalam kasus-kasus kriminal. Tuanakotta menyatakan bahwa akuntansi forensik adalah ilmu akuntansi dalam arti luas termasuk auditing, pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan.[6] Akuntansi forensik meliputi investigasi kecurangan dan menginvestigasi pembukuan keuangan maupun catatan yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Berbeda dengan auditor yang memberikan opini terhadap laporan keuangan, akuntansi forensik lebih berfokus pada suatu dugaan atau peristiwa tertentu. Oleh karena itu, akuntansi forensik memiliki peran yang efektif dalam menyelidiki dan membuktikan adanya tindak pidana korupsi.
                Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri telah terbukti bahwa akuntansi forensik melalui audit investigatifnya telah mampu mengungkap berbagai kasus korupsi. Di Indonesia banyak kasus korupsi yang terungkap melalui audit investigatif yang dilakukan baik oleh auditor sektor publik maupun privat, seperti yang terjadi pada pengungkapan kasus Bank Bali, kasus Komisi Pemilihan Umum, kasus Bank BNI, serta kasus Bank Century. Tulisan ini disusun berdasarkan studi pustaka terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan akuntansi forensik dan tindak pidana korupsi. Sebagai bahan rujukan, penulis menggunakan berbagai tulisan baik itu dalam bentuk jurnal, buku maupun tulisan lainnya serta data-data sekunder yang berkenaan dengan topik yang dibahas. Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan apa yang dimaksud dengan akuntansi forensik serta  bagaimana  peran akuntasi forensik dalam pencegahan, pengungkapkan dan pembuktikan tindak pidana korupsi?

II. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif
Sektor ekonomi dan keuangan merupakan sektor-sektor terpenting dalam era globalisasi dewasa ini. Pesatnya perkembangan sektor ini telah menimbulkan banyak perubahan mendasar pada tatanan arsitektur bidang keuangan yang ada. Salah satunya adalah bidang akuntansi. Akuntansi sebagai bahasa dunia usaha kini telah berkembang semakin pesat. Salah satu contohnya adalah akuntansi keuangan. Ini diindikasikan dengan mulai munculnya berbagai jenis bidang akuntansi yaitu seperti Akuntansi Keuangan, Akuntansi Manajemen, Akuntansi Biaya, Akuntansi Sosial, Akuntansi Perpajakan, serta Akuntansi Anggaran.[7] Namun di sisi lain perkembangan ini mengakibatkan timbulnya persaingan yang tidak sehat antar para pelaku ekonomi baik itu secara personal maupun lembaga atau organisasi. Masing-masing pelaku ekonomi berusaha untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, hal ini sangat berpotensi menimbulkan kecurangan (fraud). Seperti misalnya korupsi, penyalahgunaan aset dan manipulasi laporan keuangan yang sulit atau bahkan tidak bisa dideteksi oleh proses pemeriksaan keuangan biasa.
                Karena keterbatasan audit dalam mendeteksi kecurangan-kecurangan yang terjadi maka berkembanglah pemeriksaan kecurangan secara lebih mendetail dan menimbulkan cabang ilmu baru, yaitu forensic accounting atau fraud investigation. Auditor independen yang biasanya memeriksa laporan keuangan secara berkala berfokus untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang disajikan entitas adalah wajar dan tidak mengandung salah saji yang material.
                Berbeda dengan audit laporan keuangan yang telah lazim dilakukan oleh entitas bisnis maupun publik, akuntansi forensik merupakan disiplin ilmu audit yang relatif baru, baru muncul pada abad ke-20 karena adanya criminal federal di Amerika Serikat.[8] Cabang akuntasi ini khusus melakukan penyelidikan atau investigasi atas penyelewengan di bidang keuangan yang bersifat material. 
                Akuntansi forensik memberi solusi atas kecurangan yang banyak terjadi. Tujuan dilakukannya akuntansi forensik adalah untuk mengurangi bahkan kalau bisa menghapuskan kecurangan. Kecurangan itu sebenarnya terjadi karena laporan keuangan yang dihasilkan kurang transparan. Transparansi laporan keuangan akan sangat bermanfaat bagi kesejahteraan dan keadilan. Setiap rupiah uang dari hasil bisnis atau pembangunan sampai pada pihak yang memang berhak. Dengan demikian akuntansi akan mampu mewujudkan kondisi perekonomian yang lebih baik.

A.      Pengertian Akuntansi Forensik
Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan.[9] Akuntansi forensik dapat diterapkan di sektor publik maupun swasta, sehingga apabila memasukkan pihak yang berbeda maka akuntansi forensik menurut D. Larry Crumbley dalam Tuanakotta[10] mengemukakan bahwa secara sederhana akuntansi forensik dapat dikatakan sebagai akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum, atau akuntansi yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan yudisial, atau tinjauan administratif. Definisi Crumbley ini menekankan bahwa akuntansi forensik tidak identik, bahkan tidak berurusan dengan akuntansi yang sesuai dengnan generally acceptend accounting principles (GAAP). Ukurannya bukan GAAP, melainkan apa yang menurut hukum atau ketentuan perundang-undangan adalah akurat.
                Bologna[11] menyatakan bahwa terdapat empat kosa kata dalam perbendaharaan akuntansi yang maknanya hampir sama, walaupun penekanannya berbeda-beda, ke empat kosa kata tersebut adalah fraud auditing, forensic accounting, investigative accounting, litigation support and valuation analysis. Meskipun istilah-istilah tersebut tidak didefinisikan secara jelas/not clearly defined,  istilah litigation support yang paling luas  artinya dan mencakup keempat istilah lainnya. Dalam hal ini segala sesuatu yang dilakukan dalam akuntansi forensik, bersifat dukungan untuk kegiatan litigasi. Selanjutnya Bologna[12] menyatakan akuntansi forensik bertujuan untuk mengumpulkan bukti-bukti dalam rangka membantu pihak penegak hukum/forensic accounting evidence is oriented to law. George A. Manning[13] mendefinisikan forensic accounting sebagai berikut:
“as the science of gathering and presenting financial information on a form that will be accepted by a court of jurisprudence against perpetrators of economic crime”
                Akuntansi forensik adalah penggunaan keahlian akuntansi yang dipadukan dengan kemampuan investigatif untuk memecahkan suatu masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud. Akuntansi forensik pada dasarnya adalah perpaduan antara bidang akuntansi dan bidang hukum. Kedua disiplin ilmu tersebut saling isi mengisi satu sama lain. Oleh karena itulah akuntasi forensik bisa diartikan sebagai penggunaaan ilmu akuntansi untuk kepentingan hukum. Akuntansi forensik ini bertujuan untuk menerjemahkan transaksi keuangan yang kompleks dari data, angka ke dalam bentuk yang dapat dimengerti secara umum. Serta memahami apa yang ada di balik laporan keuangan. Hal ini tentu saja, dimaksudkan agar segala sesuatu dapat dilakukan pendeteksian sejak dini, sehingga bisa segera diketahui ada yang tidak beres dalam data-data keuangan yang disajikan.[14]
                Secara spesifik Assosiation of Certified Fraud Examiners (ACFE) membedakan financial audit dengan fraud examination sebagai berikut:[15]
Tabel 2.1
Perbedaan Financial Audit dengan Fraud Examination
Perihal
Financial Audit
Fraud Examination
Waktu
Berulang dilaksanakan secara reguler
Tidak berulang. Dilaksanakan jika terdapat bukti yang cukup
Ruang Lingkup
Umum, pada data keuangan
Spesifik, sesuai dugaan
Tujuan
Pendapat terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan
Apakah kecurangan telah terjadi dan siapa yang bertanggungjawab
Hubungan dengan hukum
Tidak ada
Ada
Metodologi
Teknik Audit, pengujian data keuangan
Teknik fraud examination, meliputi pengujian dokumen, reviu data eksternal, wawancara
Anggapan
Skeptisme professional
Pembuktian
Sumber: ACFE (2004)
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa audit forensik pada dasarnya merupakan pengumpulan dan penyajian informasi dalam bentuk dan format yang dapat diterima oleh sistem hukum di pengadilan dalam melawan para pelaku kejahatan ekonomi. Dalam hal ini terjadi perpaduan antara akuntansi, auditing, dan hukum.
B.      Lingkup Akuntansi Forensik
Pada dasarnya, akuntansi forensik merupakan perpaduan antara akuntansi dan hukum. Pada awalnya akuntan forensik digunakan di Amerika untuk menyelesaikan masalah pembagian harta gono gini dalam kasus perceraian. Unsur akuntansi sangat terlihat dari proses penghitungan harta yang akan diterima oleh masing-masing pihak. Sedangkan masalah hukumnya akan diselesaikan di pengadilan atau di luar pengadilan. Dalam kasus yang lebih kompleks ditambahkan unsur audit, Tuanakotta[16] menggambarkan skema akuntansi forensik seperti terlihat pada bagan 2.1.



Bagan 2.1

Diagram Akuntansi Forensik

Akuntansi forensik menggunakan akuntansi, auditing dan keahlian investigatif untuk  melakukan investigasi terhadap pencurian dan kecurangan. Profesi ini akan masuk dalam  20 karir terpopuler. Tugas akuntan forensik adalah menangkap pelaku dari pencurian yang diperkirakan mencapai $600 miliar dan kecurangan yang muncul di perusahaan-perusahaan setiap tahunnya. Termasuk di dalamnya melacak pencucian uang dan mengidentifikasi aksi pencurian serta penggelapan pajak. Perusahaan asuransi menggunakan akuntan forensik untuk mendeteksi kecurangan seperti pembakaran, dan kantor-kantor hukum menggunakan jasa akuntan forensik untuk mengidentifikasi aset selama perkawinan dalam kasus perceraian.[17]
        Menurut penjelasan Zysman (2002) dalam Soepardi[18] saat ini ada tiga area utama kegitan seorang akuntan forensik, yaitu:
1.       Dukungan kepada Manajemen
Seorang akuntan forensik dapat menjadi asisten manajemen yang menyajikan suatu reviu/laporan yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya tidak kecurangan atau terhadap tindak yang telah terjadi.
2.       Dukungan dalam Proses Hukum
Seorang akuntan forensik dengan keahliannya dalam melakukan analisis keuangan dapat menerapkan ilmunya baik dalam perkara perdata maupun pidana, terutama dalam perkara yang berkaitan dengan fraud. Dalam kaitannya dengan fraud, seorang akuntan forensik biasanya diminta membuktikan bahwa telah terjadi fraud dalam hal transaksi keuangan dan pencatatannya.
3.       Keterangan Ahli
Sebagai seorang ahli, akuntan forensik dapat dimintakan pendapatnya selama masih dalam lingkup keahliannya.
        Cara lain untuk melihat akuntansi forensik adalah dengan menggunakan apa yang disebut Segitiga Akuntansi Forensik. Seperti terlihat pada bagan 2.2.[19]
Bagan 2.2
Segitiga Akuntansi Forensik
 

        Konsep yang digunakan dalam Segitiga Akuntansi Forensik ini adalah konsep hukum yang paling penting dalam menetapkan ada atau tidaknya kerugian, dan kalau ada bagaimana konsep penghitungannya. Tuanakotta menjelaskan keterkaitan antara ketiga unsur dalam Segitiga tersebut sebagai berikut:[20]
1.       Di sektor publik maupun privat, akuntansi forensik berurusan dengan kerugian. Di sektor publik ada kerugian negara dan kerugian keuangan Negara. Di sektor privat juga ada kerugian yang timbul karena cidera janji dalam suatu perikatan. Kerugian adalah titik pertama dalam Segitiga Akuntansi Forensik. Landasannya adalah  Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum perdata yang berbunyi: Tiap perbutan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya mengganti kerugian tersebut.
2.       Tanpa perbuatan melawan hukum, tidak ada yang dapat dituntut untuk mengganti kerugian. Itulah sebabnya dalam berbagai bencana yang jelas-jelas ada kerugian bagi korban, seperti dalam hal kasus lumpur Lapindo, pertanyaannya adalah: apakah ada perbuatan melawan hukum?
3.       Titik ketiga dalam Segitiga Akuntansi Forensik adalah adanya keterkaitan antara kerugian dan perbuatan melawan hukum atau ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dan hubungan kausalitas adalah ranahnya para ahli dan praktisi hukum. Perhitungan besarnya kerugian adalah ranahnya para akuntan forensik. Dalam mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk menetapkan adanya kausalitas, akuntan forensik dapat membantu ahli dan praktisi hukum.
                Dalam melaksanakan tugasnya menemukan bukti-bukti kecurangan, akuntan forensik seringkali tidak bekerja sendiri. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan forensik ini diantaranya: 1) Analitic And Forensic Technology, jasa-jasa yang dikenal sebagai komputer forensik seperti data imaging dan data mining; 2) Fraud Risk Manajemen, serupa FOSA (Fraud-Oriented System Audit) dan COSA (Corruption-Oriented System Audit) Peralatan analisisnya terdiri atas perangkat lunak yang dilindungi hak cipta; 3) FCPA Reviews and Investigation. FCPA adalah undang–undang di Amerika Serikat yang memberikan sanksi hukum kepada entitas tertentu atau pelakunya yang menyuap pejabat atau penyelenggara negara di luar wilayah Amerika Serikat. FCPA Reviews serupa dengan FOSA tetapi orientasnya adalah pada potensi pelanggaran terhadap FCPA. FCPA Investigation merupakan jasa investigasi ketika pelanggaran FCPA sudah terjadi; 4) Anti Money Laundering Services-Money Laundering (pencucian uang) dan anti money laundering (pencegahan pencucian uang). Jasa yang diberikan kantor akuntan ini serupa dengan FOSA, namun orientasinya adalah pada potensi pelanggaran terhadap undang–undang pemberantasan pencucian uang; 5) Whistleblower Hotline – Whistleblower. Banyak fraud terungkap karena whistleblower memberikan informasi secara diam–diam tentang fraud yang sudah atau sedang berlangsung; 6) Business Intelligence Service. Intelligence memberi kesan kantor akuntan memberikan jasa mata–mata atau detektif. Hal yang dilakukan adalah pemeriksaan latar belakang seseorang atau suatu entitas.
                Di Indonesia, akuntansi forensik di sektor publik jauh lebih dominan dibandingkan dengan akuntansi forensik di sektor swasta. Dalam perekonomian yang didominasi sektor swasta, akan terjadi sebaliknya.[21] Tabel berikut ini akan membandingkan akuntansi forensik di sektor publik dan swasta.
Tabel 2.1
Akuntansi Forensik Di Sektor Publik dan Swasta
Dimensi
Sektor Publik
Sektor Swasta
Landasan Penugasan
         Amanat Undang-Undang
Penugasan Tertulis Secara Spesifik
Imbalan
Lazimnya tanpa imbalan
Fee dan biaya (contingency fee and expenses)
Hukum
Pidana umum dan khusus, hukum administrasi Negara
Perdata, arbitrase, administrative/aturan intern perusahaan
Ukuran keberhasilan
Memenangkan perkara pidana dan memulihkan kerugian
Memulihkan kerugian
Pembuktian
Dapat melibatkan instansi lain di luar lembaga yang bersangkutan
Bukti intern, dengan bukti ekstern yang lebih terbatas
Teknik audit investigatif
Sangat bervariasi karena kewenangan yang relative besar
Relative lebih sedikit dibandingkan di sector public. Kreativitas dalam pendekatan sangat menentukan
Akuntansi
Tekanan pada kerugian Negara dan kerugian keuangan Negara
Penilaian bisnis (business valuation)
Sumber: Tuanakotta, 2014
               
III. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Bagian dari Fraud
Kasus fraud yang paling terkenal di bidang keuangan adalah kasus Enron yang terjadi tahun 2000-an. Perusahaan energi terbesar di Amerika Serikat telah melakukan banyak kecurangan  yaitu merekayasa laporan keuangannya dengan dibantu oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ternama yaitu Arthur Andersen yang merupakan mitra tetap perusahaan. Demikian juga yang terjadi pada perusahaan telekomunikasi WorldCom. Dua kasus besar tersebut telah membawa dampak yang besar terhadap bidang akuntansi, terutama auditing. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan  Sarbanes-Oxley Act (SOX) yang berguna untuk melindungi para investor. Caranya adalah dengan meningkatkan akurasi dan reliabilitas pengungkapan yang dilakukan perusahaan publik. Peraturan tersebut tentunya kemudian diadaptasi oleh banyak negara, salah satunya Indonesia.
                Kedua kasus tersebut telah membuka mata publik bahwa fraud sangat mungkin dilakukan oleh pemilik perusahaan bahkan kantor akuntan publik terkemuka sekalipun. Sehingga perlu tindakan dan perhatian khusus untuk mengatasi hal tersebut salah satunya adalah dengan akuntansi forensik atau audit investigatif.
Fraud dan Akuntansi Forensik
Akuntansi forensik pada dasarnya menangani fraud, karenanya para akuntan forensik di Amerika Serikat menamakan asosiasi mereka Association of Certified Fraud Examiners, disingkat ACFE. Peserta survei yang dilakukan oleh ACFE menyatakan bahwa pada umumnya perusahaan menderita kehilangan pendapatan 5% setiap tahunnya akibat fraud. Jika dikalikan dengan jumlah Produk Bruto Global (Gross World Product), berarti setiap tahunnya kerugian akibat fraud hampir mencapai $3,7 triliun.[22]
                Fraud atau kecurangan adalah objek utama yang diperangi dalam akuntansi forensik. Kecurangan adalah suatu pengertian umum yang mencakup beragam cara yang dapat digunakan oleh kecerdikan manusia, yang digunakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perbuatan yang tidak benar. Kecurangan adalah penipuan yang disengaja, umumnya dalam bentuk kebohongan, penjiplakan dan pencurian. Kecurangan dilakukan untuk memperoleh keuntungan berupa uang dan kekayaan, atau untuk menghindari pembayaran atau kerugian jasa, atau menghindari pajak serta mengamankan kepentingan pribadi atau usaha..[23]
                Selain pengertian di atas, ada pula beberapa macam pengertian kecurangan lainnya, yaitu sebagai berikut di bawah ini:
a.       Menurut G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells, Kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud memberi manfaat keuangan kepada si penipu.[24]
b.       Menurut Amin Widjaja, Kecurangan (fraud) adalah penipuan yang disengaja, umumnya diterangkan sebagai kebohongan, penjiplakan dan pencurian.[25]
c.        Menurut Tommie W. Singleton dan Aaron J, kecurangan adalah perbuatan mencakup akal muslihat, kelicikan, dan tidak jujur dan cara-cara yang tidak layak/wajar untuk menipu orang lain untuk keuntungan diri sendiri, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain.[26]               
                Forensic accounting dan Fraud Examination seringkali dianggap sama, akan tetapi sebenarnya berbeda meski saling terkait. Tugas Akuntansi Forensik  dilakukan oleh akuntan dalam menghadapi proses pengadilan dan bisa saja mencakup kecurangan, penilaian, kebangkrutan, dan sejumlah jasa professional lainnya. Fraud examination dapat dikaitkan dengan akuntan lainnya maupun bukan akuntan dan hanya berhubungan dengan masalah yang terkait dengan kecurangan. [27]
                Fraud Examination mencakup pengumpulan dokumen dan barang bukti dari tindak pidana Fraud, interview para saksi dan orang-orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana Fraud, investigasi dan penulisan laporan hasil investigasi, mengkomfirmasi dan menjadi saksi kebenaran dan keabsahan dari penemuan barang bukti, dan membantu setiap upaya pendeteksian dan pencegahan tindak pidana Fraud yang dilakukan oleh aparat kepolisian atau oleh petugas yang berwenang lainnya.
                Akuntansi forensik bergantung pada segitiga kecurangan (fraud triangle) untuk mengidentifikasi titik lemah dalam suatu business system dan menemukan tersangka dalam kasus kecurangan. Segitiga kecurangan ini terdiri dari tiga konsep utama yang secara bersamaan menciptakan situasi yang memungkinkan untuk terjadinya kecurangan, yaitu: insentif, kesempatan dan rasionlisasi. Seseorang harus memiliki insentif dan kesempatan untuk melakukan kecurangan dalam keuangan, serta memiliki kemampuan untuk memenuhinya. Analisis yang terbaru menambahkan konsep keempat yaitu kemampuan/kapabilitas. Karena apabila seseorang memiliki kesempatan atau dorongan/insentif untuk mencuri, bukan berarti mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya. Sebagai contoh, seseorang yang tidak memahami cara membuat jurnal umum atau buku besar, tidak akan tahu bagaimana cara memanipulasi angka-angkanya meskipun mereka memiliki dorongan atau kesempatan.[28]
Jenis- jenis Fraud        
Secara skematis ACFE menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya. Fraud tree  ini mempunyai tiga cabang utama, yakni corruption, asset misappropriation, dan fraudulent statements.
Fraud atau kecurangan akuntansi terbagi dalam tiga tipe yaitu:[29]
a.       Korupsi
Korupsi ini mencakup beberapa hal seperti konflik kepentingan rekan atau keluarga dalam proyek, penyuapan, pengambilan dana secara paksa, permainan dalam tender dan graftifikasi terselubung.
b.       Pengambilan aset secara illegal
Pengambilan aset secara illegal ini maksudnya adalah pengambilan aset secara tidak sah atau melawan hukum. Adapun pengambilan aset secara illegal ini mencakup 3 hal yaitu:
1.       Skimming atau penjarahan, di mana uang dijarah sebelum masuk kas perusahaan. Dengan kata lain, dana diambil sebelum adanya pembukuan.
2.       Lapping atau pencurian, di mana uang dijarah sesudah masuk kas perusahaan. Contohnya adalah pembebanan tagihan yang tidak sesuai dengan kenyataannya, pembayaran biaya-biaya yang tidak logis serta pemalsuan cek.
3.       Kitting atau penggelapan dana, dimana adanya bentuk penggelembungan dana, atau adanya dana mengambang (Free Money).
c.        Kecurangan laporan keuangan
Ini merupakan kecurangan berupa salah saji material dan data keuangan palsu. Salah saji material adalah kesalahan hitung dan angka dalam laporan keuangan. Seperti menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya atau sebaliknya. Sedangkan data keuangan palsu adalah rekaan data keuangan.
                Dari ketiga cabang fraud tersebut, akuntansi forensik memusatkan perhatian pada korupsi dan pengambilan aset secara illegal, karena kecurangan pada laporan keuangan merupakan tugas utama audit atas laporan keuangan.
IV. Peran Akuntansi Forensik dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, sebagian besar kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh para pejabat publik atau di instansi pemerintahan. Sehingga akuntan atau auditor yang banyak terlibat dalam penanganan kasus-kasus tersebut adalah akuntan atau auditor pemerintah.  Sehingga sangat terlihat peran penting para akuntan forensik dari BPKP, BPK dan aparat pengawas internal pemerintah lainnya.
  Bila dilihat dari kasus-kasus korupsi yang terjadi, terlalu banyak celah korupsi pada instansi pemerintahan, baik itu celah di sistem administrasi dan birokrasi, undang-undang dan peraturan, serta penegakan hukum. Cara terbaik untuk mencegah korupsi adalah dengan menutup semua celah yang ada, akan tetapi hal ini adalah mustahil, dan kalaupun mungkin untuk dilakukan akan membutuhkan waktu yang lama dan usaha yang sangat besar.  Untuk itu dibutuhkan upaya  yang tepat dan menyeluruh untuk mencegah, mendeteksi dan penyelesaian masalah korupsi.  Pengungkapan kasus-kasus korupsi juga tergolong sulit karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan sistemis. Davia et al[30] menyatakan bahwa diperkirakan 40 persen dari keseluruhan kasus fraud tidak pernah terungkap atau dikenal dengan fenomena gunung es. Pola kecurangan di bidang keuangan disembunyikan dalam atau melalui rekayasa catatan akuntansi dengan dukungan dokumen pertanggungjawaban. Di sinilah sangat dibutuhkan peran akuntan.
                Dalam suatu audit secara umum maupun audit yang khusus untuk mendeteksi fraud, auditor internal dan eksternal secara proaktif akan berupaya melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem pengendalian intern, terutama yang berkenaan dengan perlindungan terhadap aset, yang rawan akan terjadinya fraud. Hal ini merupakan keahlian yang harus dimiliki auditor. Terkadang indikasi fraud  diperoleh dari temuan audit umum atau dapat juga dari laporan (tip-off) yang diberikan oleh para whistleblowers yang mengetahui terjadinya atau masih berlangsungnya suatu fraud.  Adakalanya temuan audit, tuduhan dan keluhan tidak berkaitan, akan tetapi mengarah pada petunjuk adanya fraud. Auditor bereaksi terhadap temuan audit, tuduhan dan keluhan serta mendalaminya dengan mengadakan audit investigatif.[31] Upaya pemberantasan mencakupi pencegahan, pendeteksian dan pemusnahan tidak pidana korupsi.
A.   Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
Mencegah adalah lebih baik daripada mengobati. Kegiatan pencegahan fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat proaktif. Korupsi bisa terjadi karena kebutuhan (needs), keserakahan (greed) atau karena ada kesempatan (opportunity).  Sehingga bila ingin mencegah korupsi yang pertama kali harus dilakukan suatu organisasi adalah menghilangkan keserakahan dan kebutuhan untuk melakukan korupsi dengan cara melakukan seleksi ketat dalam perekrutan karyawan atau anggota organisasi. Selanjutnya menutup kesempatan-kesempatan yang ada dengan menciptakan sistem pengendalian internal yang baik. Selain dengan pengendalian internal, perlu juga menanamkan kesadaran tentang adanya korupsi (corruption awareness) dan upaya menilai risiko terjadinya korupsi (fraud risk assessment).
                ACFE[32] dalam laporannya menunjukkan beberapa perangkat kendali untuk mencegah fraud (anti-fraud controls) dan besarnya kerugian yang dapat dicegah (Table 4.1).
Tabel 4.1
Anti-fraud Control untuk Pencegahan Kerugian

Anti-Fraud Controls (AFC)
Kerugian yang dapat dicegah (%)
Surprise Audit
66,2
Jobs rotation/mandatory vacation
61,0
Hotline
60,0
Emplyee support programs
56,0
Fraud Training for manajers/executives
55,9
Internal audit/FE department
52,8
Fraud training for employee
51,9
Anti-fraud policy
49,2
External audit of ICOFR
47,8
Code of conduct
45,7
Management review of IC
45,0
External audit of F/S
40,0
Independent Audit Committee
31,5
Management certification of F/S
29,5
Reward for whistleblowers
28,7
Pengendalian internal harus dirancang sedemikian rupa sehingga tanggap atau responsif terhadap kebutuhan entitas yang bersangkutan. Terlepas dari perbedaan antar perusahaan, dasar-dasar utama dari desain pengendalian internal untuk menangani fraud banyak kesamaannya. Semua pengendalian dapat digolongkan dalam pengendalian internal aktif dan pasif. Kata kunci dari pengendalian internal aktif adalah to prevent dan kata kunci untuk pengendalian internal pasif adalah to deter.[33]
B.   Pendeteksian Korupsi
Mendeteksi fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat investigatif. Mendeteksi fraud cukup sulit karena umumnya kejahatan ini dilakukan secara tersembunyi dan sering terjadi melalui kolusi sehingga sangat tertutup. Dokumen pendukung seringkali dihilangkan atau diganti dengan yang palsu untuk mendukung transaksi fiktif atau menutupi transaksi yang ada.   Statements on Auditing Standars (SAS) 99[34] mensyaratkan auditor untuk tidak hanya memastikan bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji yang material, baik yang  disebabkan oleh kesalahan maupun kecurangan, akan tetapi juga memberikan arahan agar fokus terhadap tanggungjawabnya mengungkap fraud.
                Akuntan publik memiliki Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP), yang memuat standar-standar audit, atestasi, pengendalian mutu, dan lain-lain. Namun tidak mengatur mengenai audit investigatif atau fraud audit secara khusus. Hal ini sangat riskan bila auditor melakukan audit investigatif tanpa pedoman yang jelas dan baku, sangat besar kemungkinan untuk disangkal oleh auditee dan sulit untuk menilai keandalan auditnya, karena standar pada dasarnya adalah ukuran mutu. Pada umumnya klien mengharapkan audit umum dapat mendeteksi segala macam fraud. Disisi lain, akuntan publik berupaya memasang pagar-pagar yang membatasi tanggungjawabnya, khususnya mengenai penemuan dan pengungkapan fraud. Perbedaan antara audit umum (general audit atau opinion audit) dan pemeriksaan atas fraud dapat dilihat pada tabel 4.2.[35]
Tabel 4.2
Auditing versus Fraud Examination
Issue
Auditing
Fraud Examination
Timing
Recuring
Audit dilakukan secara teratur, berkala, dan berulang kembali (recurring)
Non-recuring
Pemeriksaan fraud tidak berulang kembali, dilakukan setelah ada cukup indikasi
Scope
General
Lingkup audit adalah pemeriksaan umum atas data keuangan.
Spesific
Pemeriksaan fraud diarahkan pada dugaan, tuduhan atau sangkaan yang spesifik.
Objective
Opinion
Tujuan audit adalah untuk memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan
Affix Blame
Tujuan pemeriksaan fraud adalah untuk memastikan apakah fraud memang terjadi, dan untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab.
Relationship
Non-adversial
Sifat pekerjaan audit adalah tidak bermusuhan
Adversial
Karena pada akhirnya pemeriksa harus menetukan siapa yang bersalah, sifat pemeriksaan fraud adalah bermusuhan
Methodology
Audit Techniques
Audit dilakukan terutama dengan pemeriksaan dan keuangan
Fraud Examination Techniques
Pemeriksaan fraud dilakukan dengan memeriksa dokumen, telaah data ekstern, dan wawancara.
Presumption
Professional Skepticism
Auditor melaksanakan tugasnya dengan professional skepticism
Proof
Pemeriksa fraud berupaya mengumpulkan bukti untuk mendukung atau membantah dugaan tuduhan atau sangkaan terjadinya fraud.
Sumber: ACFE, 2006.
                K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett merumuskan beberapa standar untuk melakukan investigasi terhadap fraud. Konteks yang mereka rujuk adalah investigasi atas fraud yang dilakukan oleh pegawai perusahaan, yaitu:[36]
1.       Seluruh investigasi harus dilandasi praktik terbaik yang diakui (accepted best practice).
2.       kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan.
3.       pastikan bahwa seluruh dokumen dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks; dan jejak audit tersedia.
4.       Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa menghormatinya.
5.       Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan, dan pada penuntut umum yan mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.
6.       Cukup seluruh substansi investigasi dah “kuasai” seluruh target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.
7.       Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, melibatkan dan/atau melapor ke polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
                Dalam mendeteksi fraud atau korupsi, langkah pertama yang dilakukan adalah mengetahui di mana harus melakukan penyelidikan. Selanjutnya melalui penilaian risiko dapat membantu untuk mendeteksi posisi-posisi yang mungkin tunduk pada pengawasan terketat. Sementara itu, jenis transaksi dapat menjadi indikator potensial kemungkinan terjadinya fraud (red flag). Hal-hal tersebut dapat menjadi petunjuk awal bagi auditor untuk mengetahui lokasi mana yang perlu penyelidikan lebih lanjut. Akuntan forensik baru akan dilibatkan ketika bukti-bukti telah terkumpul atau ketika kecurigaan muncul, melalui tuduhan, keluhan dan temuan.
                Laporan ACFE berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, mengungkapkan beberapa petunjuk yang dapat digunakan dalam mencegah dan mendeteksi fraud:[37] 1) Rata-rata (median) berlangsungnya fraud sebelum deteksi adalah lebih dari satu tahun; yakni antara 17 sampai 30 bulan; 2) Bagaimana fraud terungkap? Hampir separuhnya (46,2% untuk tahun 2008) diketahui karena ada yang membocorkan (tip). Sedangkan 25,4% (tahun 2006) dan 20% (tahun 2008) dari seluruh fraud terungkap secara kebetulan (by accident), jadi bukan oleh fraud examiner, internal auditor maupun external auditor; 3) Bahkan kalau fraud dilakukan oleh majikan atau pemilik, lebih dari separuhnya (51,7%) terungkap karena tip. Bocor (tip) terutama (57,7%) datang dari karyawan.
                Adapun Teknik-teknik yang digunakan dalam mengungkapkan fraud atau korupsi adalah sebagai berikut:[38] 1) Penggunaan teknik-teknik audit yang dlakukan oleh Internal maupun eksternal auditor dalam mengaudit laporan keuangan, namun secara lebih mendalam dan luas; 2) Pemanfaatan teknik audit investigatif dalam kejahatan terorganisir dan penyelundupan pajak penghasilan yang juga dapat diterapkan terhadap data kekayaan pejabat negara; 3) Penelusuran jejak-jejak arus uang; 4) Penerapan teknik analisis dalam bidang hukum; 5) Penggunaan teknik audit investigatif; 6) Penggunaan Computer Forensic; 7) Penggunaan teknik interogasi; 8) Penggunaan operasi penyamaran; 9) Pemanfaatan whistleblower.
                Dalam mengungkap kasus korupsi, biasanya akuntan forensik bekerja sama dengan praktisi hukum. Untuk  itu seorang akuntan forensik perlu memahami hukum pembuktian sesuai dengan masalah hukum yang dihadapi, seperti pembuktian untuk tindak pidana umum, tindak pidana khusus, pembuktian dalam hukum perdata, pembuktian dalam hukum administrasi, dan sebagainya. Dari pengalamannya melakukan audit, akuntan forensik mengenal cara-cara atau teknik untuk menganalisis. Terkait dengan perbuatan melawan hukum, akuntan forensik akan mengumpulkan barang-barang bukti untuk setiap unsur dalam perbuatan melawan hukum seperti korupsi, yang selanjutnya akan digunakan untuk mendukung atau membantah perbuatan tersebut.
V. Penutup
Akuntansi forensik merupakan disiplin ilmu audit yang relatif baru, yakni baru muncul pada abad ke-20 karena adanya criminal federal di Amerika Serikat. Cabang akuntasi ini khusus melakukan penyelidikan atau investigasi atas keuangan yang bersifat material. Audit forensik pada dasarnya merupakan pengumpulan dan penyajian informasi dalam bentuk dan format yang dapat diterima oleh sistem hukum di pengadilan dalam melawan para pelaku kejahatan ekonomi. Dalam hal ini terjadi perpaduan antara akuntansi, auditing, dan hukum. Sehingga dalam melaksanakan tugasnya, seorang akuntan forensik seringkali tidak bekerja sendiri akan tetapi juga melibatkan pihak-pihak lain dari disiplin ilmu yang berbeda.
                Hasil  penelitian berbagai lembaga survei penelitian baik di Indonesia maupun di luar negeri menyebutkan bahwa fenomena korupsi di Indonesia sudah sangat parah dan kondisi tersebut sering menempatkan Indonesia pada posisi yang cukup rendah sebagai negara terkorup.           Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta untuk menekan angka korupsi ini. Namun usaha-usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan. Salah satu upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan adalah dengan akuntansi forensik. Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri telah terbukti bahwa akuntansi forensik melalui audit investigatifnya telah mampu mengungkap berbagai kasus korupsi. Di Indonesia banyak kasus korupsi yang terungkap melalui audit investigatif yang dilakukan baik oleh auditor sektor publik maupun privat, seperti yang terjadi pada pengungkapan kasus Bank Bali, kasus Komisi Pemilihan Umum, kasus Bank BNI, serta kasus Bank Century.
                Akuntansi forensik  sebagai bagian dari ilmu akuntansi memiliki peran yang sangat luas, mereka dapat memberikan dukungan kepada manajer, dukungan dalam proses hukum melalui analisa keuangannya, serta sebagai ahli yang dapat dimintai keterangannya dalam pengadilan. Dengan  pengalamannya dalam melakukan audit, seorang akuntan forensik memahami betul cara-cara atau teknik untuk menganalisis. Teknik tersebut selanjutnya digunakan untuk menganalisa barang-barang bukti yang dikumpulkan dalam setiap unsur perbuatan melawan hukum seperti korupsi. Hasil analisa ini  yang selanjutnya digunakan untuk mendukung atau membantah perbuatan melawan hukum tersebut.
               
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
ACFE, Report to The Nation, Association of Certified Fraud Examiners, 2008
ACFE, Report to The National on Accupational Fraud and Abuse, 2014 Global Fraud Study, Association of Certified Fraud Examination, 2014.
AICPA, Statement on Auditing Standards No. 99: Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit, Auditing Standards Board of the American Institute of Certified Public Accountants, October 2002
Arifin, Johan, Strategi Di Bidang Auditing Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di Lingkungan
Bologna, G. Jack, Lindquist, Robert J. dan Wells, Joseph T., Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 1995.
Bologna, Jack, Fraud Auditing and Forensic Accounting, third edition, John Wiley & Sons, Inc., 2006.
 Davia, Howard R, Coggins, Patrick, Wideman, John, and Kastantin, jo, Accountant’s Guide to Fraud Detection and control, 2nd edition, New Jersey: John Wiley & Sons, 2000.
Djaja, Ermansjah,  Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Hakim, Uminah, Eksistensi Akuntansi Forensik dalam Penyidikan dan Pembuktian Pidana Korupsi, Unnes Law Journal, ULJ 3 (1) 2014), http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ulj, diakses tanggal 25 Mei 2015.
 Jumansyah et al,  Akuntansi Forensik dan Prospeknya terhadap Penyelesaian Masalah-Masalah Hukum di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional “Problematika Hukum dalam Implementasi Bisnis dan Investasi (Perspektif Multidisipliner)”, 2010.
 K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett, Financial Crime Investigation and Control, New Jersey: John Wiley & Sons, 2002
 Kayo, Sutan Amrizal, Audit Forensik: Penggunaan dan Kompetensi Auditor dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Graha Ilmu, 2013.
Lembaga Pemerintahan, Yogyakarta: Media Akuntansi, UII, 2001
Manning A. ,George, Financial Investigation and Forensic Accounting, New York Washington DC London:CRC Press Boca Raton, 1999.
Rasey M,  History of Forensic Accounting, 30 June 2009.
Sayyid, Annisa, Fraud dan Akuntansi Forensik (Upaya Minimalisasi Kecurangan dan Rekayasa Keuangan), Jurnal At-taradhi, Vol 4, No. 1, 2013.
Tommie W. Singleton dan Aaron J, Fraud Auditing and Forensic Accounting, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2010.
Tuanakotta, T.M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta: Salemba Empat, 2014.
Wels, Josep T, Principles of Fraud Examination, New Jersey:John Willey & Sons. Inc., 2004,
Weygandt JJ, Kieso DE, dan Kimmel PD, Accounting principles, 8th edn., Wiley, 2008.
Widjaja, Amin, Forensic & Investigative Accounting: Pendekatan Kasus, Jakarta: Harvarindo, 2012.
Winarni F dan G. Sugiyarso, Konsep Dasar dan Siklus Akuntansi, Yogyakarta: CAPS, 2011.
Internet
Rasey M, “History of Forensic Accounting”, 30 June 2009. http://www.ehow.com/about_5005763_history-forensic-accounting.html, diakses tanggal  1 Juni 2015.
The Fraud Examiner, http://www.journalofaccountancy.com/Issues/2003/Oct/TheFraudExaminers.htm, diakses tanggal 5 Juni 2015.



Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta

2017


* Penulis adalah Peneliti Muda dalam Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian,Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR Ri. Alamat e-mail: venti.eka@dpr.go.id.
[1] T.M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 14.
[2] Sutan Amrizal Kayo,  Audit Forensik: Penggunaan dan Kompetensi Auditor dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Graha Ilmu, 2013, hal. 1.
[3] Johan Arifin,  Strategi Di Bidang Auditing Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di Lingkungan
Lembaga Pemerintahan, Yogyakarta: Media Akuntansi, UII, 2001
[4] Uminah Hakim, Akuntansi Eksistensi Forensik dalam Penyidikan dan Pembuktian Pidana Korupsi, Unnes Law Journal, ULJ 3 (1) 2014), http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ulj, hal. 56. Diakses tanggal 20 Mei 2015.
[5] Sutan Amrizal Kayo, “Audit Forensik: Penggunaan dan Kompetensi Auditor dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Jakarta: Graha Ilmu, 2013, hal. 8.
[6] T.M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 4.
[7] Winarni F dan G. Sugiyarso, “Konsep Dasar dan Siklus Akuntansi”, (Yogyakarta CAPS, 2011), hlm.5-6.
[8] Sutan Amrizal Kayo, Audit Forensik: Penggunaan dan Kompetensi Auditor dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Graha Ilmu, 2013, hal. 44
[9] Winarni F dan G. Sugiyarso, “Konsep Dasar dan Siklus Akuntansi”, (Yogyakarta CAPS, 2011), hal.3
[10] Ibid hal.5
[11] Jack Bologna, Fraud Auditing and Forensic Accounting, third edition, John Wiley & Sons, Inc., 2006, hal. 3.
[12] Ibid, hal. 66.
[13] Manning A. ,George, “Financial Investigation and Forensic Accounting,” New York Washington DC: CRC Press Boca Raton London, 1999.
[14] Annisa Sayyid, Fraud dan Akuntansi Forensik (Upaya Minimalisasi Kecurangan dan Rekayasa Keuangan), Jurnal At-taradhi, Vol 4, No. 1, 2013, hal. 7.
[15] Josep T Wels, Principles of Fraud Examination, New Jersey: John Willey & Sons. Inc, 2004,
[16] T.M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,  Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 19.
[17] Weygandt JJ, Kieso DE, Kimmel PD, Accounting principles, 8th edn. Wiley, 2008, hal. 30.
[18] Eddy Mulyadi Soepardi, “Pendekatan Komprehensif dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Akuntansi, FE Universitas Pakuan. 21 Maret 2009.
[19] Weygandt, Op. cit. hal. 22
[20] ibid
[21] Ibid, hal. 93.
[22] ACFE, “Report to the National on Accupational Fraud and Abuse”, Global Fraud Study, 2014, hal. 4.
[23] Annisa Sayyid, “Fraud dan Akuntansi Forensik (Upaya Minimalisasi Kecurangan dan Rekayasa Keuangan)”, Jurnal At-taradhi, Vol 4, No. 1, 2013, hal. 4.
[24] G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells. , “Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques”, John Wiley & Sons, Inc., 1995, hlm. 4.
[25] Amin Widjaja, “Forensic & Investigative Accounting: Pendekatan Kasus”, Jakarta: Harvarindo, 2012, hlm. 1.
[26] Tommie W. Singleton dan Aaron J, “Fraud Auditing and Forensic Accounting”, John Wiley & Sons, Inc., 2010, hlm. 5.
[27] The Fraud Examiners, http://www.journalofaccountancy.com/Issues/2003/Oct/TheFraudExaminers.htm,  diakses tanggal 5 Juni 2015.
[28] Rasey M, History of Forensic Accounting, 30 June 2009. http://www.ehow.com/about_5005763_history-forensic-accounting.html, diakses tanggal  1 Juni 2015.
[29]  T.M. Tuanakotta, “Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif”, Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 195-204.
[30] Howard R. Davia, , Patrick Coggins, , John Wideman, , dan Jo Kastantin, Accountant’s Guide to Fraud Detection and Control, 2nd edition, New Jersey: John Wiley & Sons, 2000.
[31] T.M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal.  19.
[32] ACFE, Report to the Nation, Association of Certified Fraud Examiners, 2008, hal. 1.
[33] Op cit, hal. 278
[34] AICPA, “Statement on Auditing Standards No. 99: Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit”, Auditing Standards Board of the American Institute of Certified Public Accountants, October 2002.
[35] T.M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 293-294.
[36] K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett, Financial Crime Investigation and Control, New Jersey: John Wiley & Sons, 2002, hal. 140.
[37] ACFE, Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse, 2008
[38] T.M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 295-296



Komentar

Postingan populer dari blog ini

KASUS AUDIT INVESTIGATIF Kasus Hambalang Andika Hamam Arifin Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis bahwa proyek bernilai Rp1,2 triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Pelajar Tingkat Nasional (National Training Camp Sport Center). Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan yang representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu, Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa Hambalang, Citeureup
DILEMA ETIKA SEORANG AUDITOR Dilema etika merupakan suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat untuk dilakukannya.  Para auditor, akuntan, serta pelaku bisnis lainnya menghadapi banyak dilema etika dalam karir bisnis mereka. Melakukan kontak dengan seorang klien yang mengancam akan mencari seorang auditor baru kecuali jika auditor itu bersedia untuk menerbitkan sutu pendapat wajar tanpa syarat, akan mewakili suatu dilema etika yang serius terutama jika pendapat wajar tanpa syarat bukanlah pendapat yang tepat untuk diterbitkan. Memutuskan apakah akan berkonfrontasi dengan seorang atasan yang telah menyatakan nilai pendapatan departemennya secara material lebih besar daripada nilai yang sebenarnya agar dapat menerima bonus lebih besar merupakan suatu dilema etika yang sulit. Tetap menjadi bagian manajemen sebuah perusahaan yang selalu mengusik dan memperlakukan para pegawainya dengan tidak layak atau melayani