PERAN AKUNTANSI FORENSIK DALAM
PEMBERANTASAN
1. Pendahuluan
Istilah
akuntansi forensik mulai dikenal luas di Indonesia sejak terjadinya krisis
keuangan tahun 1997. Krisis yang semakin memburuk telah memaksa pemerintah
untuk melakukan pinjaman pada IMF dan World Bank. Untuk memperoleh pinjaman,
kedua lembaga tersebut mengharuskan dilaksanakannya Agreed-Upon
Due Dilligence Process (ADDP) yang dilakukan oleh akuntan asing dan beberapa akuntan
Indonesia.
Temuan awal ADDP ini menimbulkan
dampak yang
sangat besar terhadap dunia usaha. Sampel ADDP di enam bank menunjukkan perbankan melakukan overstatement di sisi aset (assets) dan understatement di sisi kewajiban (liabilities), (lihat Tabel 1.).[1]
Tabel 1.
Perbandingan Asset dan Liability LK (Laporan Keuangan) Bank dengan Temuan ADDP
No.
|
Nama Bank
|
Aset per 30 April 1998
|
Kewajiban per 30 April 1998
|
||||
Bank
|
ADDP
|
Over Statement
|
Bank
|
ADDP
|
Under Statement
|
||
1.
|
Danamon
|
26,0
|
14,0
|
54%
|
25,0
|
37,0
|
33%
|
2.
|
BUN
|
15,6
|
11,3
|
28%
|
15,4
|
21,3
|
28%
|
3.
|
Modern
|
3,1
|
1,8
|
43%
|
3,0
|
3,1
|
3%
|
4.
|
BDNI
|
24,0
|
6,0
|
82%
|
32,3
|
48,5
|
33%
|
5.
|
TIARA
|
4,3
|
1,1
|
54%
|
4,5
|
4,9
|
10%
|
6.
|
PDFCI
|
4,4
|
1,1
|
75%
|
4,3
|
4,9
|
14%
|
Sumber:
Tuanakota, 2014
Berdasarkan hasil ADDP ini, bank-bank kita dikelompokkan
dalam tiga kategori. Kelompok A dengan capital
Adequacy ratio (CAR) sebesar atau lebih dari 4%. Kelompok B, antara -25% sampai
dengan kurang dari 4%. Kelompok C, di bawah -25%. Proses ADDP tidak
lain adalah audit investigatif.
Jejak suses akuntansi forensik di Indonesia mulai terlihat jelas ketika kasus Bank Bali, dimana Pricewaterhouse Coopers selaku akuntan yang
melakukan pemeriksaan pada Bank Bali berhasil menunjukkan sejumlah aliran dana
dari orang-orang tertentu. Akan
tetapi sistem pengadilan di Indonesia pada
saat itu tidak berhasil menghukum para banker yang terdeteksi menerima aliran dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), beberapa banker tersebut dengan
mudah melarikan diri ke luar negeri.
Selanjutnya
di tahun 2005, Kasus Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kasus
Bank Negara Indonesia dapat diselesaikan dari segi akuntansi forensik dan
sistem pengadilan. Kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum berhasil dibongkar
oleh BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) yang bertindak selaku akuntan forensik
dan berhasil diselesaikan di pengadilan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada kasus Bank Century sedikit berbeda, meskipun yang melakukan audit
investigatif adalah BPK, akan tetapi pemeriksaan aliran dana dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hasil audit investigasi I dan II
yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah berhasil mengungkap
satu-satu persatu aliran dana bail out
Bank Century tersebut.
Di Indonesia akuntansi forensik sektor
publik lebih menonjol daripada di sektor privat. Hal ini terlihat dari besarnya
peran para akuntan forensik dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), BPK dan aparat pengawasan internal pemerintah yang tergabung dalam Aparat
Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Terutama setelah dilakukannya
pembaharuan dalam pengelolaan keuangan negara, seperti telah dikeluarkannya
paket undang-undang di bidang keuangan negara yakni UU Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Meskipun telah banyak upaya
yang dilakukan seperti pembaharuan di bidang pengelolaan keuangan negara
serta peningkatan dan penguatan lembaga-lembaga penegak hukum, akan tetapi
tidak pidana korupsi masih sulit untuk dikendalikan. Terbukti dari masih
banyaknya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara yang berindikasi
tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi terus berkembang dari tahun ke
tahun baik dari segi aspek jumlah kasus, kerugian yang ditimbulkannya maupun
kualitas tindak pidana yang dilakukan.
Tujuan dari pembaharuan
pengelolaan keuangan negara adalah untuk menghilangkan penyimpangan dalam
pengelolaan keuangan negara yang banyak
terjadi, namun tampaknya tujuan tersebut
masih belum tercapai. Terbukti dengan masih banyaknya penyimpangan dalam
pengelolaan keuangan negara yang berindikasi tindak pidana korupsi. Tingginya
intensitas kejadian praktik korupsi di Indonesia telah dipersepsikan sedemikian parahnya
oleh berbagai pihak, seperti yang dilaporkan oleh Tranparency International (TI, 2008), Indonesia Corruption Watch (ICW, 2008), Global Corruption Barometer (GCB, 2007) dab Bribe Payer’s Index
(BPI, 2006) serta Laporan Hasil Penelitian Kompas tanggal 21 Juli 2008, yang menyimpulkan
bahwa korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua
(Tuanakota, 2009, dalam Kayo, S.A.). Korupsi
yang dilakukan oleh para pejabat negara pada akhirnya telah menjadi penghambat
kesejahteraan rakyat.
Sejak tahun 2004 sampai dengan September 2012 sudah sebanyak 131 orang
penyelenggara negara tersangkut pidana korupsi yang sudah diberikan persetujuan
dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk dilakukan penyelidikan hukum (Dipo
Alam: 28 September 2012, dalam
Kayo, S.A.).[2]
Berbagai lembaga survey atau penelitian
baik di Indonesia maupun di luar negeri menyebutkan bahwa fenomena korupsi di
Indonesia sudah sangat parah dan kondisi tersebut sering menempatkan Indonesia dalam kelompok negara terkorup. Dari hasil pemeriksaan
BPKP dan Kejaksaan Agung sebagai tindak lanjutnya, telah cukup banyak kasus
korupsi ditemukan berasal dari sektor pemerintahan. Bahkan hasil jajak pendapat
yang dilakukan oleh BPKP dengan mengambil responden dari berbagai kalangan di
masyarakat menunjukkan bahwa instansi/lembaga atau kegiatan-kegiatan
pemerintahan dianggap oleh masyarakat paling banyak melakukan korupsi.[3]
Tindak
pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat
dibenci oleh sebagian besar masyarakat, tidak hanya masyarakat Indonesia bahkan
masyarakat internasional. Dengan ditetapkannya kejahatan korupsi sebagai suatu
kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), maka diperlukan metode
penegakan hukum secara luar biasa. Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi berisi
mengenai tindakan pemerintah yang memerintahkan semua aparat di pusat dan
daerah menjalankan langkah-langkah apapun untuk memberantas korupsi. Upaya
tersebut antara lain melalui sistem pengawasan ketat dalam pelayanan pajak dan
imigrasi, mengawasi pengeluaran dan pendapatan, meningkatkan pelayanan
masyarakat di pusat dan daerah, serta membawa ke meja hijau setiap kasus
korupsi. Dalam rangka upaya percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi
tersebut, sebagai badan yang memiliki tujuan yang sama untuk memberantas tindak
pidana korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan dan Pengadilan harus membuktikan kecurigaan
mereka kepada seseorang mengenai apakah seseorang tersebut melakukan korupsi
atau tidak. Pengusutan ini sangat sulit dilakukan karena berkaitan dengan
bidang tertentu di luar hukum, yaitu bidang keuangan negara atau perekonomian
negara. Agar dapat membuktikan apakah seseorang melakukan korupsi harus
didukung oleh alat bukti yang memiliki tingkat pembuktian yang kuat.[4]
Arvind
Jain dalam Amrizal S. K.[5]
menyatakan bahwa
korupsi
sering terjadi di negara demokrasi. Dalam negara demokrasi kemungkinan terjadi korupsi
dalam proses pemilihan pemimpin, teknokrat dan legislatif sangat besar. Pemetaan interaksi antar para pelaku politik dan ekonomi
membantu memberikan gambaran tentang potensi korupsi. Terdapat empat
bentuk interaksi yang berpotensi menimbulkan korupsi yaitu: 1)
interaksi antara rakyat dengan pemimpin negara, 2) interaksi antara birokrat dengan anggota
legislatif, antara birokrat dengan rakyat, antara birokrat dengan pemimpin
Negara, 3) interaksi antara pemimpin negara dengan anggota legislatif. 4) interaksi antara
rakyat dengan anggota legislatif.
Ilmu forensik adalah ilmu yang digunakan untuk penyelidikan
kriminal dalam rangka mencari bukti yang dapat digunakan dalam kasus-kasus
kriminal. Tuanakotta menyatakan bahwa akuntansi forensik adalah ilmu akuntansi dalam arti luas termasuk auditing,
pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan.[6] Akuntansi
forensik meliputi investigasi kecurangan dan menginvestigasi pembukuan keuangan
maupun catatan yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Berbeda dengan
auditor yang memberikan opini terhadap laporan keuangan, akuntansi forensik
lebih berfokus pada suatu dugaan atau peristiwa tertentu. Oleh karena itu,
akuntansi forensik memiliki peran yang efektif dalam menyelidiki dan
membuktikan adanya tindak pidana korupsi.
Dari
kasus-kasus korupsi yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri telah
terbukti bahwa akuntansi forensik melalui audit investigatifnya telah mampu
mengungkap berbagai kasus korupsi. Di Indonesia
banyak kasus korupsi yang terungkap melalui audit investigatif yang dilakukan baik oleh auditor sektor publik maupun privat, seperti yang terjadi pada
pengungkapan kasus Bank Bali, kasus Komisi Pemilihan Umum, kasus Bank BNI,
serta kasus Bank Century. Tulisan ini disusun berdasarkan studi
pustaka terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan akuntansi forensik
dan tindak pidana korupsi. Sebagai bahan rujukan, penulis menggunakan berbagai
tulisan baik itu dalam bentuk jurnal, buku maupun tulisan lainnya serta
data-data sekunder yang berkenaan dengan topik yang dibahas. Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan apa yang dimaksud dengan akuntansi forensik serta bagaimana peran akuntasi
forensik dalam pencegahan, pengungkapkan dan pembuktikan tindak pidana korupsi?
II. Akuntansi Forensik
dan Audit Investigatif
Sektor ekonomi
dan keuangan merupakan sektor-sektor
terpenting dalam era globalisasi dewasa ini. Pesatnya perkembangan sektor ini telah
menimbulkan banyak perubahan mendasar pada tatanan arsitektur bidang keuangan
yang ada. Salah satunya adalah bidang akuntansi. Akuntansi sebagai bahasa dunia
usaha kini telah berkembang semakin pesat. Salah satu contohnya adalah
akuntansi keuangan. Ini diindikasikan dengan mulai munculnya berbagai jenis
bidang akuntansi yaitu seperti Akuntansi Keuangan, Akuntansi Manajemen,
Akuntansi Biaya, Akuntansi Sosial, Akuntansi Perpajakan, serta Akuntansi
Anggaran.[7] Namun di
sisi lain perkembangan ini mengakibatkan timbulnya persaingan yang tidak sehat
antar para pelaku ekonomi baik itu secara personal maupun lembaga atau
organisasi. Masing-masing pelaku ekonomi berusaha untuk menghasilkan keuntungan
sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, hal ini sangat
berpotensi menimbulkan kecurangan (fraud).
Seperti misalnya korupsi, penyalahgunaan aset dan manipulasi laporan keuangan
yang sulit atau bahkan tidak bisa dideteksi oleh proses pemeriksaan keuangan biasa.
Karena keterbatasan audit dalam
mendeteksi kecurangan-kecurangan yang terjadi maka berkembanglah pemeriksaan
kecurangan secara lebih
mendetail dan menimbulkan cabang ilmu baru, yaitu forensic accounting atau fraud
investigation. Auditor independen yang
biasanya memeriksa laporan keuangan secara berkala berfokus untuk memastikan
bahwa laporan keuangan yang disajikan entitas adalah wajar dan tidak mengandung
salah saji yang material.
Berbeda dengan audit laporan
keuangan yang telah lazim dilakukan oleh entitas bisnis maupun publik, akuntansi forensik merupakan disiplin
ilmu audit yang relatif baru, baru muncul pada abad ke-20 karena adanya criminal federal di Amerika Serikat.[8] Cabang
akuntasi ini khusus melakukan penyelidikan atau investigasi atas penyelewengan di bidang keuangan yang bersifat material.
Akuntansi forensik memberi solusi
atas kecurangan yang banyak terjadi. Tujuan dilakukannya akuntansi forensik
adalah untuk mengurangi bahkan kalau bisa menghapuskan kecurangan. Kecurangan
itu sebenarnya terjadi karena laporan keuangan yang dihasilkan kurang
transparan. Transparansi laporan keuangan akan sangat bermanfaat bagi
kesejahteraan dan keadilan. Setiap rupiah uang dari hasil bisnis atau
pembangunan sampai pada pihak yang memang berhak. Dengan demikian akuntansi
akan mampu mewujudkan kondisi perekonomian yang lebih baik.
A.
Pengertian Akuntansi Forensik
Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas,
termasuk auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di
luar pengadilan.[9] Akuntansi
forensik dapat diterapkan di sektor publik maupun swasta, sehingga apabila
memasukkan pihak yang berbeda maka akuntansi forensik menurut D. Larry Crumbley
dalam Tuanakotta[10] mengemukakan
bahwa secara sederhana akuntansi forensik dapat dikatakan sebagai akuntansi
yang akurat untuk tujuan hukum, atau akuntansi yang tahan uji dalam kancah
perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan yudisial,
atau tinjauan administratif. Definisi Crumbley ini menekankan bahwa akuntansi
forensik tidak identik, bahkan tidak berurusan dengan akuntansi yang sesuai
dengnan generally acceptend accounting
principles (GAAP). Ukurannya bukan GAAP, melainkan apa yang menurut hukum
atau ketentuan perundang-undangan adalah akurat.
Bologna[11]
menyatakan bahwa terdapat empat kosa kata dalam perbendaharaan akuntansi yang
maknanya hampir sama, walaupun penekanannya berbeda-beda, ke empat kosa kata
tersebut adalah fraud auditing, forensic accounting, investigative
accounting, litigation support and valuation analysis. Meskipun
istilah-istilah tersebut tidak didefinisikan secara jelas/not clearly defined, istilah
litigation support yang paling luas artinya dan mencakup keempat
istilah lainnya. Dalam hal ini segala sesuatu yang dilakukan dalam akuntansi
forensik, bersifat dukungan untuk kegiatan litigasi. Selanjutnya Bologna[12] menyatakan
akuntansi forensik bertujuan untuk mengumpulkan bukti-bukti dalam rangka membantu pihak penegak hukum/forensic accounting evidence
is oriented to law. George A. Manning[13]
mendefinisikan forensic accounting sebagai
berikut:
“as the science of gathering and presenting financial
information on a form that will be accepted by a court of jurisprudence against
perpetrators of economic crime”
Akuntansi forensik adalah
penggunaan keahlian akuntansi yang dipadukan dengan kemampuan investigatif
untuk memecahkan suatu masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud.
Akuntansi forensik pada dasarnya adalah perpaduan antara bidang akuntansi dan
bidang hukum. Kedua disiplin ilmu tersebut saling isi mengisi satu sama lain.
Oleh karena itulah akuntasi forensik bisa diartikan sebagai penggunaaan ilmu
akuntansi untuk kepentingan hukum. Akuntansi forensik ini bertujuan untuk
menerjemahkan transaksi keuangan yang kompleks dari data, angka ke dalam bentuk
yang dapat dimengerti secara umum. Serta memahami apa yang ada di balik laporan
keuangan. Hal ini tentu saja, dimaksudkan agar segala sesuatu dapat dilakukan
pendeteksian sejak dini, sehingga bisa segera diketahui ada yang tidak beres
dalam data-data keuangan yang disajikan.[14]
Secara spesifik Assosiation of Certified Fraud Examiners
(ACFE) membedakan financial audit dengan
fraud examination sebagai berikut:[15]
Tabel 2.1
Perbedaan Financial Audit dengan
Fraud Examination
Perihal
|
Financial
Audit
|
Fraud Examination
|
Waktu
|
Berulang dilaksanakan secara
reguler
|
Tidak berulang. Dilaksanakan
jika terdapat bukti yang cukup
|
Ruang Lingkup
|
Umum, pada data keuangan
|
Spesifik, sesuai dugaan
|
Tujuan
|
Pendapat terhadap kewajaran
penyajian laporan keuangan
|
Apakah kecurangan telah terjadi
dan siapa yang bertanggungjawab
|
Hubungan dengan hukum
|
Tidak ada
|
Ada
|
Metodologi
|
Teknik Audit, pengujian data
keuangan
|
Teknik fraud examination, meliputi pengujian dokumen, reviu data eksternal, wawancara
|
Anggapan
|
Skeptisme professional
|
Pembuktian
|
Sumber: ACFE (2004)
Dari pendapat para ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa audit forensik pada dasarnya merupakan pengumpulan dan
penyajian informasi dalam bentuk dan format yang dapat diterima oleh sistem
hukum di pengadilan dalam melawan para pelaku kejahatan ekonomi. Dalam hal ini
terjadi perpaduan antara akuntansi, auditing, dan hukum.
B.
Lingkup Akuntansi Forensik
Pada
dasarnya, akuntansi forensik merupakan perpaduan antara akuntansi dan hukum.
Pada awalnya akuntan forensik digunakan di Amerika untuk menyelesaikan masalah
pembagian harta gono gini dalam kasus perceraian. Unsur akuntansi sangat terlihat
dari proses penghitungan harta yang akan diterima oleh masing-masing pihak.
Sedangkan masalah hukumnya akan diselesaikan di pengadilan atau di luar
pengadilan. Dalam kasus yang lebih kompleks ditambahkan unsur audit, Tuanakotta[16] menggambarkan skema
akuntansi forensik seperti terlihat pada bagan 2.1.
Akuntansi
forensik menggunakan akuntansi, auditing dan keahlian investigatif
untuk melakukan investigasi terhadap
pencurian dan kecurangan. Profesi ini akan masuk dalam 20 karir terpopuler. Tugas akuntan forensik
adalah menangkap pelaku dari pencurian yang diperkirakan mencapai $600 miliar
dan kecurangan yang muncul di perusahaan-perusahaan setiap tahunnya. Termasuk
di dalamnya
melacak pencucian uang dan mengidentifikasi aksi pencurian serta penggelapan
pajak. Perusahaan asuransi menggunakan akuntan forensik untuk
mendeteksi kecurangan seperti pembakaran, dan kantor-kantor hukum menggunakan
jasa akuntan forensik untuk mengidentifikasi aset selama perkawinan dalam kasus
perceraian.[17]
Menurut penjelasan Zysman (2002) dalam Soepardi[18] saat ini
ada tiga area utama kegitan seorang akuntan forensik, yaitu:
1. Dukungan kepada Manajemen
Seorang akuntan forensik dapat menjadi asisten manajemen
yang menyajikan suatu reviu/laporan yang berkaitan dengan kemungkinan
terjadinya tidak kecurangan atau terhadap tindak yang telah terjadi.
2. Dukungan dalam Proses Hukum
Seorang akuntan forensik dengan keahliannya dalam
melakukan analisis keuangan dapat menerapkan ilmunya baik dalam perkara perdata
maupun pidana, terutama dalam perkara yang berkaitan dengan fraud. Dalam kaitannya dengan fraud, seorang akuntan forensik biasanya
diminta membuktikan bahwa telah terjadi fraud
dalam hal transaksi keuangan dan
pencatatannya.
3. Keterangan Ahli
Sebagai seorang ahli, akuntan forensik dapat dimintakan
pendapatnya selama masih dalam lingkup keahliannya.
Cara lain untuk melihat akuntansi
forensik adalah dengan menggunakan apa yang disebut Segitiga Akuntansi
Forensik. Seperti terlihat pada bagan 2.2.[19]
Bagan 2.2
Segitiga Akuntansi Forensik
Konsep yang digunakan dalam Segitiga
Akuntansi Forensik ini adalah konsep hukum yang paling penting dalam menetapkan
ada atau tidaknya kerugian, dan kalau ada bagaimana konsep penghitungannya.
Tuanakotta menjelaskan keterkaitan antara ketiga unsur dalam Segitiga tersebut
sebagai berikut:[20]
1.
Di sektor publik
maupun privat, akuntansi forensik berurusan dengan kerugian. Di sektor publik
ada kerugian negara dan kerugian keuangan Negara. Di sektor privat
juga ada kerugian yang timbul karena cidera janji dalam suatu perikatan.
Kerugian adalah titik pertama dalam Segitiga Akuntansi Forensik. Landasannya
adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum perdata yang
berbunyi: Tiap perbutan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
mengganti kerugian tersebut.
2.
Tanpa
perbuatan melawan hukum, tidak ada yang dapat dituntut untuk mengganti
kerugian. Itulah sebabnya dalam berbagai bencana yang jelas-jelas ada kerugian
bagi korban, seperti dalam hal kasus lumpur Lapindo,
pertanyaannya adalah: apakah ada perbuatan melawan hukum?
3.
Titik ketiga
dalam Segitiga Akuntansi Forensik adalah adanya keterkaitan antara kerugian dan
perbuatan melawan hukum atau ada hubungan kausalitas antara kerugian dan
perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dan hubungan kausalitas adalah
ranahnya para ahli dan praktisi hukum. Perhitungan besarnya kerugian adalah
ranahnya para akuntan forensik. Dalam mengumpulkan bukti dan barang
bukti untuk menetapkan adanya kausalitas, akuntan forensik dapat membantu ahli
dan praktisi hukum.
Dalam melaksanakan tugasnya menemukan
bukti-bukti kecurangan, akuntan forensik seringkali tidak bekerja sendiri. Pihak-pihak
yang terlibat dalam kegiatan forensik ini diantaranya: 1) Analitic And Forensic Technology, jasa-jasa yang dikenal sebagai komputer
forensik seperti data imaging
dan data mining; 2) Fraud Risk Manajemen, serupa FOSA (Fraud-Oriented System Audit) dan COSA (Corruption-Oriented System Audit) Peralatan analisisnya terdiri atas perangkat lunak yang dilindungi hak
cipta; 3) FCPA Reviews and Investigation. FCPA adalah undang–undang di
Amerika Serikat yang memberikan sanksi hukum kepada entitas tertentu atau
pelakunya yang menyuap pejabat atau penyelenggara negara di luar wilayah
Amerika Serikat. FCPA Reviews serupa
dengan FOSA tetapi orientasnya adalah
pada potensi pelanggaran terhadap FCPA. FCPA Investigation merupakan jasa investigasi ketika pelanggaran FCPA
sudah terjadi; 4) Anti Money Laundering Services-Money Laundering (pencucian uang) dan anti money
laundering (pencegahan pencucian uang). Jasa yang diberikan kantor akuntan
ini serupa dengan FOSA, namun orientasinya adalah pada potensi pelanggaran
terhadap undang–undang pemberantasan pencucian uang; 5) Whistleblower
Hotline – Whistleblower. Banyak fraud
terungkap karena whistleblower
memberikan informasi secara diam–diam tentang fraud yang sudah atau sedang berlangsung; 6) Business
Intelligence Service. Intelligence
memberi kesan kantor akuntan memberikan jasa mata–mata atau detektif. Hal yang
dilakukan adalah pemeriksaan latar belakang seseorang atau suatu entitas.
Di Indonesia, akuntansi forensik
di sektor publik
jauh lebih dominan dibandingkan dengan akuntansi forensik di sektor swasta.
Dalam perekonomian yang didominasi sektor swasta, akan terjadi sebaliknya.[21] Tabel berikut ini
akan membandingkan akuntansi forensik di sektor publik dan swasta.
Tabel 2.1
Akuntansi Forensik Di
Sektor Publik dan Swasta
Dimensi
|
Sektor Publik
|
Sektor Swasta
|
Landasan Penugasan
|
Amanat Undang-Undang
|
Penugasan Tertulis Secara Spesifik
|
Imbalan
|
Lazimnya tanpa imbalan
|
Fee dan biaya (contingency fee and expenses)
|
Hukum
|
Pidana umum dan khusus, hukum
administrasi Negara
|
Perdata, arbitrase, administrative/aturan intern
perusahaan
|
Ukuran keberhasilan
|
Memenangkan perkara pidana dan
memulihkan kerugian
|
Memulihkan kerugian
|
Pembuktian
|
Dapat melibatkan instansi lain
di luar lembaga yang bersangkutan
|
Bukti intern, dengan bukti
ekstern yang lebih terbatas
|
Teknik audit investigatif
|
Sangat bervariasi karena
kewenangan yang relative besar
|
Relative lebih sedikit dibandingkan di sector public. Kreativitas dalam pendekatan sangat
menentukan
|
Akuntansi
|
Tekanan pada kerugian Negara dan
kerugian keuangan Negara
|
Penilaian bisnis (business valuation)
|
Sumber: Tuanakotta, 2014
III. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Bagian dari
Fraud
Kasus fraud yang paling terkenal di bidang
keuangan adalah kasus Enron yang terjadi tahun 2000-an. Perusahaan energi terbesar di
Amerika Serikat telah melakukan banyak kecurangan yaitu merekayasa laporan keuangannya dengan
dibantu oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ternama yaitu Arthur Andersen
yang merupakan mitra tetap perusahaan. Demikian juga yang terjadi pada
perusahaan telekomunikasi WorldCom. Dua kasus besar tersebut telah membawa
dampak yang besar terhadap bidang akuntansi, terutama auditing. Pemerintah
Amerika Serikat mengeluarkan
Sarbanes-Oxley Act (SOX) yang berguna untuk melindungi para investor.
Caranya adalah dengan meningkatkan akurasi dan reliabilitas pengungkapan yang
dilakukan perusahaan publik. Peraturan tersebut tentunya kemudian diadaptasi
oleh banyak negara, salah satunya Indonesia.
Kedua
kasus tersebut telah membuka mata publik bahwa fraud sangat mungkin dilakukan oleh pemilik perusahaan bahkan
kantor akuntan publik terkemuka sekalipun. Sehingga perlu tindakan dan
perhatian khusus untuk mengatasi hal tersebut salah satunya adalah dengan
akuntansi forensik atau audit investigatif.
Fraud dan Akuntansi Forensik
Akuntansi
forensik pada dasarnya menangani fraud,
karenanya para akuntan forensik di Amerika Serikat menamakan asosiasi mereka Association of Certified Fraud Examiners,
disingkat ACFE. Peserta survei yang dilakukan oleh ACFE menyatakan
bahwa pada umumnya perusahaan menderita kehilangan pendapatan 5% setiap
tahunnya akibat fraud. Jika dikalikan
dengan jumlah Produk Bruto Global (Gross
World Product), berarti setiap tahunnya kerugian akibat fraud hampir mencapai $3,7 triliun.[22]
Fraud atau kecurangan adalah objek utama yang diperangi dalam
akuntansi forensik. Kecurangan adalah suatu pengertian umum yang mencakup
beragam cara yang dapat digunakan oleh kecerdikan manusia, yang digunakan oleh
seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perbuatan yang
tidak benar. Kecurangan adalah penipuan yang disengaja, umumnya dalam bentuk
kebohongan, penjiplakan dan pencurian. Kecurangan dilakukan untuk memperoleh
keuntungan berupa uang dan kekayaan, atau untuk menghindari pembayaran atau
kerugian jasa, atau menghindari pajak serta mengamankan kepentingan pribadi
atau usaha..[23]
Selain pengertian di atas, ada
pula beberapa macam pengertian kecurangan lainnya, yaitu sebagai berikut di
bawah ini:
a.
Menurut G.
Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells, Kecurangan adalah
penipuan kriminal yang bermaksud memberi manfaat keuangan kepada si penipu.[24]
b.
Menurut
Amin Widjaja, Kecurangan (fraud) adalah penipuan yang disengaja, umumnya
diterangkan sebagai kebohongan, penjiplakan dan pencurian.[25]
c.
Menurut
Tommie W. Singleton dan Aaron J, kecurangan adalah perbuatan mencakup
akal muslihat, kelicikan, dan tidak jujur dan cara-cara yang tidak layak/wajar
untuk menipu orang lain untuk keuntungan diri sendiri, sehingga menimbulkan
kerugian bagi pihak lain.[26]
Forensic
accounting dan Fraud Examination seringkali dianggap
sama, akan tetapi sebenarnya berbeda meski saling terkait. Tugas Akuntansi
Forensik dilakukan oleh akuntan dalam
menghadapi proses pengadilan dan bisa saja mencakup kecurangan, penilaian,
kebangkrutan, dan sejumlah jasa professional lainnya. Fraud examination dapat dikaitkan dengan akuntan lainnya maupun
bukan akuntan dan hanya berhubungan dengan masalah yang terkait dengan
kecurangan. [27]
Fraud Examination mencakup pengumpulan dokumen dan barang
bukti dari tindak pidana Fraud,
interview para saksi dan orang-orang
yang diduga sebagai pelaku tindak pidana Fraud,
investigasi dan penulisan laporan hasil investigasi, mengkomfirmasi dan menjadi
saksi kebenaran dan keabsahan dari penemuan barang bukti, dan membantu setiap
upaya pendeteksian dan pencegahan tindak pidana Fraud yang dilakukan oleh aparat kepolisian atau
oleh petugas yang berwenang lainnya.
Akuntansi
forensik bergantung pada segitiga kecurangan (fraud triangle) untuk mengidentifikasi titik lemah dalam suatu business system dan menemukan tersangka
dalam kasus kecurangan. Segitiga kecurangan ini terdiri dari tiga konsep utama
yang secara bersamaan menciptakan situasi yang memungkinkan untuk terjadinya
kecurangan, yaitu: insentif, kesempatan dan rasionlisasi. Seseorang harus
memiliki insentif dan kesempatan untuk melakukan kecurangan dalam keuangan,
serta memiliki kemampuan untuk memenuhinya. Analisis yang terbaru menambahkan
konsep keempat yaitu kemampuan/kapabilitas. Karena apabila seseorang memiliki
kesempatan atau dorongan/insentif untuk mencuri, bukan berarti mereka memiliki
kemampuan untuk melakukannya. Sebagai contoh, seseorang yang tidak memahami
cara membuat jurnal umum atau buku besar, tidak akan tahu bagaimana cara
memanipulasi angka-angkanya meskipun mereka memiliki dorongan atau kesempatan.[28]
Jenis- jenis Fraud
Secara
skematis ACFE menggambarkan occupational
fraud dalam bentuk fraud tree.
Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud
dalam hubungan kerja, beserta
ranting dan anak rantingnya. Fraud tree ini mempunyai tiga cabang utama, yakni corruption, asset misappropriation, dan fraudulent
statements.
Fraud atau kecurangan akuntansi terbagi dalam tiga tipe yaitu:[29]
a.
Korupsi
Korupsi ini mencakup beberapa
hal seperti konflik kepentingan rekan atau keluarga dalam proyek, penyuapan,
pengambilan dana secara paksa, permainan dalam tender dan graftifikasi
terselubung.
b.
Pengambilan
aset secara illegal
Pengambilan aset secara illegal
ini maksudnya adalah pengambilan aset secara tidak sah atau melawan hukum.
Adapun pengambilan aset secara illegal ini mencakup 3 hal yaitu:
1.
Skimming atau penjarahan, di mana uang dijarah
sebelum masuk kas perusahaan. Dengan kata lain, dana diambil sebelum adanya
pembukuan.
2.
Lapping atau pencurian, di mana uang dijarah
sesudah masuk kas perusahaan. Contohnya adalah pembebanan tagihan yang tidak
sesuai dengan kenyataannya, pembayaran biaya-biaya yang
tidak logis serta pemalsuan cek.
3.
Kitting atau penggelapan dana, dimana adanya
bentuk penggelembungan dana, atau adanya dana mengambang (Free Money).
c.
Kecurangan
laporan keuangan
Ini merupakan kecurangan berupa
salah saji material dan data keuangan palsu. Salah saji material adalah
kesalahan hitung dan angka dalam laporan keuangan. Seperti menyajikan aset atau
pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya atau sebaliknya. Sedangkan data
keuangan palsu adalah rekaan data keuangan.
Dari
ketiga cabang fraud tersebut,
akuntansi forensik memusatkan perhatian pada korupsi dan pengambilan aset
secara illegal, karena kecurangan pada laporan keuangan merupakan tugas utama
audit atas laporan keuangan.
IV. Peran Akuntansi Forensik dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Sebagaimana telah disebutkan di atas,
sebagian besar kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh para
pejabat publik atau di instansi pemerintahan. Sehingga akuntan atau auditor yang
banyak terlibat dalam penanganan kasus-kasus tersebut adalah akuntan atau
auditor pemerintah. Sehingga sangat
terlihat peran penting para akuntan forensik dari BPKP, BPK dan aparat pengawas
internal pemerintah lainnya.
Bila dilihat dari kasus-kasus korupsi yang
terjadi, terlalu banyak celah korupsi pada instansi pemerintahan, baik itu
celah di sistem administrasi dan birokrasi, undang-undang dan peraturan, serta
penegakan hukum. Cara terbaik untuk mencegah korupsi adalah dengan menutup
semua celah yang ada, akan tetapi hal ini adalah mustahil, dan kalaupun mungkin
untuk dilakukan akan membutuhkan waktu yang lama dan usaha yang sangat
besar. Untuk itu dibutuhkan upaya yang tepat dan menyeluruh untuk mencegah,
mendeteksi dan penyelesaian masalah korupsi. Pengungkapan kasus-kasus korupsi
juga tergolong sulit karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan sistemis.
Davia et al[30]
menyatakan bahwa diperkirakan 40 persen dari keseluruhan kasus fraud tidak pernah terungkap atau
dikenal dengan fenomena gunung es. Pola kecurangan di bidang keuangan
disembunyikan dalam atau melalui rekayasa catatan akuntansi dengan dukungan
dokumen pertanggungjawaban. Di sinilah sangat dibutuhkan peran akuntan.
Dalam
suatu audit secara umum maupun audit yang khusus untuk mendeteksi fraud, auditor internal dan eksternal
secara proaktif akan berupaya melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem
pengendalian intern, terutama yang berkenaan dengan perlindungan terhadap aset,
yang rawan akan terjadinya fraud. Hal
ini merupakan keahlian yang harus dimiliki auditor. Terkadang indikasi fraud
diperoleh dari temuan audit umum atau dapat juga dari laporan (tip-off) yang diberikan oleh para whistleblowers yang mengetahui
terjadinya atau masih berlangsungnya suatu fraud.
Adakalanya temuan audit, tuduhan dan
keluhan tidak berkaitan, akan tetapi mengarah pada petunjuk adanya fraud. Auditor bereaksi terhadap temuan
audit, tuduhan dan keluhan serta mendalaminya dengan mengadakan audit investigatif.[31] Upaya
pemberantasan mencakupi pencegahan, pendeteksian dan pemusnahan tidak pidana
korupsi.
A. Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi
Mencegah adalah lebih baik
daripada mengobati. Kegiatan pencegahan fraud
adalah bagian dari fraud audit yang
bersifat proaktif. Korupsi bisa terjadi karena kebutuhan (needs), keserakahan (greed)
atau karena ada kesempatan (opportunity). Sehingga bila ingin mencegah korupsi yang
pertama kali harus dilakukan suatu organisasi adalah menghilangkan keserakahan
dan kebutuhan untuk melakukan korupsi dengan cara melakukan seleksi ketat dalam
perekrutan karyawan atau anggota organisasi. Selanjutnya menutup
kesempatan-kesempatan yang ada dengan menciptakan sistem pengendalian internal
yang baik. Selain dengan pengendalian internal, perlu juga menanamkan kesadaran
tentang adanya korupsi (corruption
awareness) dan upaya menilai risiko terjadinya korupsi (fraud risk assessment).
ACFE[32] dalam
laporannya menunjukkan beberapa perangkat kendali untuk mencegah fraud (anti-fraud controls) dan besarnya
kerugian yang dapat dicegah (Table 4.1).
Tabel 4.1
Anti-fraud Control
untuk Pencegahan Kerugian
Anti-Fraud Controls (AFC)
|
Kerugian yang
dapat dicegah (%)
|
Surprise Audit
|
66,2
|
Jobs rotation/mandatory
vacation
|
61,0
|
Hotline
|
60,0
|
Emplyee support programs
|
56,0
|
Fraud Training for
manajers/executives
|
55,9
|
Internal audit/FE department
|
52,8
|
Fraud training for employee
|
51,9
|
Anti-fraud policy
|
49,2
|
External audit of ICOFR
|
47,8
|
Code of conduct
|
45,7
|
Management review of IC
|
45,0
|
External audit of F/S
|
40,0
|
Independent Audit Committee
|
31,5
|
Management certification of
F/S
|
29,5
|
Reward for whistleblowers
|
28,7
|
Pengendalian
internal harus dirancang sedemikian rupa sehingga tanggap atau responsif
terhadap kebutuhan entitas yang bersangkutan. Terlepas dari perbedaan antar
perusahaan, dasar-dasar utama dari desain pengendalian internal untuk menangani
fraud banyak kesamaannya. Semua
pengendalian dapat digolongkan dalam pengendalian internal aktif dan pasif.
Kata kunci dari pengendalian internal aktif adalah to prevent dan kata kunci untuk pengendalian internal pasif adalah to deter.[33]
B. Pendeteksian
Korupsi
Mendeteksi fraud adalah bagian dari fraud
audit yang bersifat investigatif. Mendeteksi fraud cukup sulit karena
umumnya kejahatan ini dilakukan secara tersembunyi
dan sering terjadi melalui kolusi sehingga sangat
tertutup. Dokumen pendukung seringkali dihilangkan atau diganti dengan
yang palsu untuk mendukung transaksi fiktif atau menutupi transaksi yang ada. Statements on Auditing Standars (SAS) 99[34]
mensyaratkan auditor untuk tidak hanya memastikan bahwa laporan keuangan bebas
dari salah saji yang material, baik yang disebabkan oleh kesalahan maupun kecurangan,
akan tetapi juga memberikan arahan agar fokus terhadap tanggungjawabnya
mengungkap fraud.
Akuntan publik memiliki Standar
Profesi Akuntan Publik (SPAP), yang memuat standar-standar audit, atestasi,
pengendalian mutu, dan lain-lain. Namun tidak mengatur mengenai audit
investigatif atau fraud audit secara
khusus. Hal ini sangat riskan bila auditor melakukan audit investigatif tanpa
pedoman yang jelas dan baku, sangat besar kemungkinan untuk disangkal oleh auditee dan sulit untuk menilai
keandalan auditnya, karena standar pada dasarnya adalah ukuran mutu. Pada
umumnya klien mengharapkan audit umum dapat mendeteksi segala macam fraud. Disisi lain, akuntan publik
berupaya memasang pagar-pagar yang membatasi tanggungjawabnya, khususnya
mengenai penemuan dan pengungkapan fraud.
Perbedaan antara audit umum (general
audit atau opinion audit) dan
pemeriksaan atas fraud dapat dilihat
pada tabel 4.2.[35]
Tabel 4.2
Auditing versus Fraud Examination
Issue
|
Auditing
|
Fraud Examination
|
Timing
|
Recuring
Audit dilakukan secara teratur,
berkala, dan berulang kembali (recurring)
|
Non-recuring
Pemeriksaan fraud tidak berulang kembali,
dilakukan setelah ada cukup indikasi
|
Scope
|
General
Lingkup audit adalah
pemeriksaan umum atas data keuangan.
|
Spesific
Pemeriksaan fraud diarahkan pada dugaan, tuduhan
atau sangkaan yang spesifik.
|
Objective
|
Opinion
Tujuan audit adalah untuk
memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan
|
Affix Blame
Tujuan pemeriksaan fraud adalah untuk memastikan apakah fraud memang terjadi, dan untuk
menentukan siapa yang bertanggung jawab.
|
Relationship
|
Non-adversial
Sifat pekerjaan audit adalah
tidak bermusuhan
|
Adversial
Karena pada akhirnya pemeriksa
harus menetukan siapa yang bersalah, sifat pemeriksaan fraud adalah bermusuhan
|
Methodology
|
Audit Techniques
Audit dilakukan terutama dengan
pemeriksaan dan keuangan
|
Fraud Examination Techniques
Pemeriksaan fraud dilakukan dengan memeriksa
dokumen, telaah data ekstern, dan wawancara.
|
Presumption
|
Professional Skepticism
Auditor melaksanakan tugasnya
dengan professional skepticism
|
Proof
Pemeriksa fraud berupaya mengumpulkan bukti untuk mendukung atau membantah
dugaan tuduhan atau sangkaan terjadinya
fraud.
|
Sumber: ACFE, 2006.
K.H.
Spencer Pickett dan Jennifer Pickett merumuskan beberapa standar untuk
melakukan investigasi terhadap fraud.
Konteks yang mereka rujuk adalah investigasi atas fraud yang dilakukan oleh pegawai perusahaan, yaitu:[36]
1. Seluruh
investigasi harus dilandasi praktik terbaik yang diakui (accepted best practice).
2. kumpulkan
bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due
care) sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan.
3. pastikan bahwa seluruh
dokumen dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks; dan jejak audit tersedia.
4. Pastikan bahwa
para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa menghormatinya.
5. Beban
pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan, dan pada
penuntut umum yan mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum
administratif maupun hukum pidana.
6. Cukup seluruh
substansi investigasi dah “kuasai” seluruh target yang sangat kritis ditinjau
dari segi waktu.
7. Liput seluruh
tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan bukti
dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan mengenai
hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan
catatan, melibatkan dan/atau melapor ke polisi, kewajiban hukum, dan
persyaratan mengenai pelaporan.
Dalam mendeteksi fraud atau korupsi, langkah pertama yang
dilakukan adalah mengetahui di mana harus melakukan penyelidikan. Selanjutnya
melalui penilaian risiko dapat membantu untuk mendeteksi posisi-posisi yang
mungkin tunduk pada pengawasan terketat. Sementara itu, jenis transaksi dapat
menjadi indikator potensial kemungkinan terjadinya fraud (red flag). Hal-hal
tersebut dapat menjadi petunjuk awal bagi auditor untuk mengetahui lokasi mana
yang perlu penyelidikan lebih lanjut. Akuntan forensik baru akan dilibatkan ketika
bukti-bukti telah terkumpul atau ketika kecurigaan muncul, melalui tuduhan,
keluhan dan temuan.
Laporan ACFE berdasarkan
penelitian di Amerika Serikat, mengungkapkan beberapa petunjuk yang dapat
digunakan dalam mencegah dan mendeteksi fraud:[37]
1) Rata-rata (median) berlangsungnya fraud
sebelum deteksi adalah lebih dari satu tahun; yakni antara 17 sampai 30 bulan;
2) Bagaimana fraud terungkap? Hampir
separuhnya (46,2% untuk tahun 2008) diketahui karena ada yang membocorkan (tip). Sedangkan 25,4% (tahun 2006) dan
20% (tahun 2008) dari seluruh fraud terungkap
secara kebetulan (by accident), jadi
bukan oleh fraud examiner, internal auditor maupun external auditor; 3) Bahkan kalau fraud dilakukan oleh majikan atau pemilik, lebih dari separuhnya
(51,7%) terungkap karena tip. Bocor (tip) terutama (57,7%) datang dari
karyawan.
Adapun Teknik-teknik yang
digunakan dalam mengungkapkan fraud atau
korupsi adalah sebagai berikut:[38]
1) Penggunaan teknik-teknik audit yang dlakukan oleh Internal maupun eksternal
auditor dalam mengaudit laporan keuangan, namun secara lebih mendalam dan luas;
2) Pemanfaatan teknik audit investigatif dalam kejahatan terorganisir dan
penyelundupan pajak penghasilan yang juga dapat diterapkan terhadap data kekayaan
pejabat negara; 3) Penelusuran jejak-jejak arus uang; 4) Penerapan teknik
analisis dalam bidang hukum; 5) Penggunaan teknik audit investigatif; 6)
Penggunaan Computer Forensic; 7)
Penggunaan teknik interogasi; 8) Penggunaan operasi penyamaran; 9) Pemanfaatan whistleblower.
Dalam
mengungkap kasus korupsi, biasanya akuntan forensik bekerja sama dengan
praktisi hukum. Untuk itu seorang
akuntan forensik perlu memahami hukum pembuktian sesuai dengan masalah hukum
yang dihadapi, seperti pembuktian untuk tindak pidana umum, tindak pidana
khusus, pembuktian dalam hukum perdata, pembuktian dalam hukum administrasi,
dan sebagainya. Dari pengalamannya melakukan audit, akuntan forensik mengenal
cara-cara atau teknik untuk menganalisis. Terkait dengan perbuatan melawan
hukum, akuntan forensik akan mengumpulkan barang-barang bukti untuk setiap
unsur dalam perbuatan melawan hukum seperti korupsi, yang selanjutnya akan
digunakan untuk mendukung atau membantah perbuatan tersebut.
V. Penutup
Akuntansi
forensik merupakan disiplin ilmu audit yang relatif baru, yakni baru muncul pada abad ke-20
karena adanya criminal federal di
Amerika Serikat. Cabang akuntasi ini khusus melakukan penyelidikan atau
investigasi atas keuangan yang bersifat material. Audit forensik
pada dasarnya merupakan pengumpulan dan penyajian informasi dalam bentuk dan
format yang dapat diterima oleh sistem hukum di pengadilan dalam melawan para
pelaku kejahatan ekonomi. Dalam hal ini terjadi perpaduan antara akuntansi,
auditing, dan hukum. Sehingga dalam
melaksanakan tugasnya, seorang akuntan forensik seringkali tidak bekerja
sendiri akan tetapi juga melibatkan pihak-pihak lain dari disiplin ilmu yang
berbeda.
Hasil penelitian berbagai lembaga survei penelitian
baik di Indonesia maupun di luar negeri menyebutkan bahwa fenomena korupsi di
Indonesia sudah sangat parah dan kondisi tersebut sering menempatkan Indonesia
pada posisi yang cukup rendah sebagai negara terkorup. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh
pemerintah maupun swasta untuk menekan angka korupsi ini. Namun usaha-usaha
tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan. Salah satu upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan adalah dengan akuntansi forensik. Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi
baik di dalam maupun luar negeri telah terbukti bahwa akuntansi forensik
melalui audit investigatifnya telah mampu mengungkap
berbagai kasus korupsi. Di Indonesia banyak kasus korupsi yang terungkap
melalui audit investigatif yang dilakukan baik oleh auditor sektor
publik maupun privat, seperti yang terjadi pada pengungkapan kasus Bank Bali,
kasus Komisi Pemilihan Umum, kasus Bank BNI, serta kasus Bank Century.
Akuntansi forensik sebagai bagian dari ilmu akuntansi memiliki
peran yang sangat luas, mereka dapat memberikan dukungan kepada manajer,
dukungan dalam proses hukum melalui analisa keuangannya, serta sebagai ahli
yang dapat dimintai keterangannya dalam pengadilan. Dengan pengalamannya dalam melakukan audit, seorang
akuntan forensik memahami betul cara-cara atau teknik untuk menganalisis. Teknik
tersebut selanjutnya digunakan untuk menganalisa barang-barang bukti yang
dikumpulkan dalam setiap unsur perbuatan melawan hukum seperti korupsi. Hasil
analisa ini yang selanjutnya digunakan
untuk mendukung atau membantah perbuatan melawan hukum tersebut.
Daftar Pustaka
Buku
dan Jurnal
ACFE, Report to The Nation, Association of Certified Fraud Examiners, 2008
ACFE, Report to The National on Accupational Fraud and Abuse, 2014 Global Fraud Study, Association of
Certified Fraud Examination, 2014.
AICPA, Statement on Auditing Standards
No. 99: Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit, Auditing Standards Board of the American
Institute of Certified Public Accountants, October 2002
Arifin,
Johan, Strategi Di Bidang
Auditing Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di Lingkungan
Bologna,
G. Jack, Lindquist, Robert J. dan Wells, Joseph T., Fraud Auditing and
Forensic Accounting: New Tools and Techniques, New Jersey: John Wiley &
Sons, Inc., 1995.
Bologna, Jack, Fraud Auditing and Forensic Accounting,
third edition, John Wiley & Sons, Inc., 2006.
Davia, Howard R, Coggins, Patrick, Wideman,
John, and Kastantin, jo, Accountant’s
Guide to Fraud Detection and control, 2nd edition, New Jersey:
John Wiley & Sons, 2000.
Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta:
Sinar Grafika, 2010.
Hakim, Uminah, Eksistensi Akuntansi Forensik dalam
Penyidikan dan Pembuktian Pidana Korupsi, Unnes Law Journal, ULJ 3 (1)
2014), http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ulj, diakses tanggal 25 Mei 2015.
Jumansyah et al, Akuntansi Forensik dan Prospeknya terhadap
Penyelesaian Masalah-Masalah Hukum di Indonesia, Prosiding Seminar
Nasional “Problematika Hukum dalam Implementasi Bisnis dan Investasi (Perspektif
Multidisipliner)”, 2010.
K.H. Spencer
Pickett dan Jennifer Pickett, Financial
Crime Investigation and Control, New Jersey: John Wiley & Sons,
2002
Kayo, Sutan Amrizal, Audit Forensik: Penggunaan dan Kompetensi Auditor dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Graha Ilmu, 2013.
Lembaga Pemerintahan, Yogyakarta: Media Akuntansi, UII, 2001
Manning A. ,George, Financial Investigation and Forensic
Accounting, New York Washington DC London:CRC Press Boca Raton, 1999.
Rasey
M, History
of Forensic Accounting, 30 June 2009.
Sayyid,
Annisa, Fraud dan Akuntansi Forensik
(Upaya Minimalisasi Kecurangan dan Rekayasa Keuangan), Jurnal At-taradhi,
Vol 4, No. 1, 2013.
Tommie
W. Singleton dan Aaron J, Fraud Auditing and Forensic Accounting, New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2010.
Tuanakotta, T.M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,
Jakarta: Salemba Empat, 2014.
Wels, Josep T, Principles of Fraud Examination, New
Jersey:John Willey & Sons. Inc., 2004,
Weygandt
JJ, Kieso DE, dan Kimmel PD, Accounting
principles, 8th edn., Wiley, 2008.
Widjaja,
Amin, Forensic & Investigative Accounting: Pendekatan Kasus, Jakarta:
Harvarindo, 2012.
Winarni
F dan G. Sugiyarso, Konsep Dasar dan Siklus Akuntansi, Yogyakarta: CAPS,
2011.
Rasey M,
“History of Forensic Accounting”, 30 June 2009. http://www.ehow.com/about_5005763_history-forensic-accounting.html,
diakses tanggal 1 Juni 2015.
The Fraud
Examiner, http://www.journalofaccountancy.com/Issues/2003/Oct/TheFraudExaminers.htm,
diakses tanggal 5 Juni 2015.
Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta
2017
* Penulis adalah Peneliti
Muda dalam Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian,Pengolahan
Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR Ri. Alamat e-mail:
venti.eka@dpr.go.id.
[1] T.M. Tuanakotta,
Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,
Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 14.
[2] Sutan Amrizal Kayo, Audit
Forensik: Penggunaan dan Kompetensi Auditor dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta: Graha Ilmu, 2013, hal. 1.
Lembaga Pemerintahan,
Yogyakarta: Media Akuntansi, UII, 2001
[4]
Uminah Hakim, Akuntansi Eksistensi Forensik
dalam Penyidikan dan Pembuktian Pidana Korupsi, Unnes Law Journal, ULJ 3
(1) 2014), http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ulj,
hal. 56. Diakses tanggal 20 Mei 2015.
[5] Sutan Amrizal Kayo, “Audit
Forensik: Penggunaan dan Kompetensi Auditor dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”, Jakarta: Graha Ilmu, 2013,
hal. 8.
[6] T.M.
Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit
Investigatif, Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 4.
[7] Winarni F dan G. Sugiyarso, “Konsep
Dasar dan Siklus Akuntansi”, (Yogyakarta CAPS, 2011), hlm.5-6.
[8] Sutan Amrizal
Kayo, Audit Forensik: Penggunaan dan
Kompetensi Auditor dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:
Graha Ilmu, 2013, hal. 44
[10] Ibid hal.5
[11] Jack Bologna, Fraud Auditing and Forensic Accounting,
third edition, John Wiley & Sons, Inc., 2006, hal. 3.
[12] Ibid, hal. 66.
[13] Manning A.
,George, “Financial Investigation and Forensic Accounting,” New York Washington DC: CRC Press Boca Raton London, 1999.
[14] Annisa Sayyid, Fraud dan
Akuntansi Forensik (Upaya Minimalisasi Kecurangan dan Rekayasa Keuangan), Jurnal
At-taradhi, Vol 4, No. 1, 2013, hal. 7.
[15] Josep T Wels, Principles of Fraud Examination, New
Jersey: John Willey & Sons. Inc, 2004,
[16] T.M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,
Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 19.
[18] Eddy Mulyadi Soepardi,
“Pendekatan Komprehensif dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di
Indonesia”, Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Akuntansi, FE Universitas Pakuan.
21 Maret 2009.
[19] Weygandt, Op. cit. hal. 22
[20] ibid
[21] Ibid, hal. 93.
[22] ACFE, “Report
to the National on Accupational Fraud and Abuse”, Global Fraud Study, 2014, hal.
4.
[23] Annisa Sayyid, “Fraud dan Akuntansi Forensik (Upaya Minimalisasi
Kecurangan dan Rekayasa Keuangan)”, Jurnal At-taradhi, Vol 4, No. 1, 2013, hal.
4.
[24] G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells. , “Fraud Auditing and Forensic Accounting: New
Tools and Techniques”, John Wiley & Sons, Inc., 1995, hlm. 4.
[25] Amin Widjaja, “Forensic
& Investigative Accounting: Pendekatan Kasus”, Jakarta:
Harvarindo, 2012, hlm. 1.
[26] Tommie W. Singleton dan Aaron J, “Fraud Auditing and Forensic Accounting”, John Wiley & Sons,
Inc., 2010, hlm. 5.
[27]
The Fraud
Examiners, http://www.journalofaccountancy.com/Issues/2003/Oct/TheFraudExaminers.htm, diakses tanggal 5 Juni 2015.
[28] Rasey M, History of Forensic
Accounting, 30 June 2009. http://www.ehow.com/about_5005763_history-forensic-accounting.html,
diakses tanggal 1 Juni 2015.
[29] T.M. Tuanakotta, “Akuntansi Forensik dan
Audit Investigatif”, Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 195-204.
[30] Howard R. Davia,
, Patrick Coggins, , John Wideman, , dan Jo Kastantin, Accountant’s Guide to Fraud Detection and Control, 2nd
edition, New Jersey: John Wiley & Sons, 2000.
[31] T.M.
Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit
Investigatif, Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 19.
[32] ACFE, Report to the Nation, Association of
Certified Fraud Examiners, 2008, hal. 1.
[33] Op cit, hal.
278
[34] AICPA, “Statement on Auditing Standards No. 99:
Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit”, Auditing Standards Board of the American
Institute of Certified Public Accountants,
October 2002.
[35] T.M.
Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit
Investigatif, Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 293-294.
[36] K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett, Financial Crime Investigation and Control, New
Jersey: John Wiley & Sons, 2002, hal. 140.
[37] ACFE, Report to the Nation on Occupational Fraud
and Abuse, 2008
[38] T.M. Tuanakotta,
Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,
Jakarta: Salemba Empat, 2014, hal. 295-296
Komentar
Posting Komentar