Langsung ke konten utama
Alasan MA Rampas Harta Bos PT Mapna Rp 337 Miliar di Kasus Korupsi PLTGU Jakarta 


Harta Direktur PT Mapna Indonesia, M Bahalwan, sebesar Rp 337 miliar dirampas negara. Ia dinyatakan terbukti melakukan kejahatan korupsi di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PTLGU) Blok 2 Belawan. Kasus bermula saat PLN akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PTLGU) Blok 2 Belawan, Sumatera Utara, pada 2010. Nilai proyek mencapai triliunan rupiah. Proyek ini lalu jatuh ke perusahaan asal Iran, Mapna, dan dilaksanakan oleh Mapna Indonesia. Belakangan terungkap proyek ini mengungkap skandal megakorupsi mencapai ratusan miliar rupiah. Jaksa Agung membidik kasus ini dan menyelidik banyak pihak, salah satunya Direktur Mapna Indonesia, Bahalwan. "Bahwa terdakwa selaku Direktur PT Mapna Indonesia adalah perpanjangan tangan Mapna Co dalam pelaksanaan perjanjian antara PT PLN (Persero) dan Mapna Co dan konsorsium menerima pembayaran yang dilakukan PT PLN (Persero) dengan cara teleghrapic transfer (TT) ke dalam rekening PT Mapna Indonesia," demikian lansir panitera MA di websitenya, Senin (7/3/2016).

Menurut MA, pria kelahiran 4 Juni 1954 itu tidak membuat laporan sparepart material baru yang telah dipasang dan sparepart material yang lama yang harus dibuktikan dengan adanya berita acara pemasangan dan berita acara serah terima material return oleh Mapna Co. Hal ini seharusnya dilakukan sesuai kewajiban hukum Bahalwan. "Namun ternyata tidak dilakukan (hal ini) adalah perbuatan melawan hukum karena telah bertentangan dengan kewajiban hukum terdakwa," ujar ketua majelis Dr hakim agung Salman Luthan. MA memutuskan Bahalwan dengan kapasitas dan kewenangannya selaku perwakilan PT Mapna Co yang berada di Indonesia adalah pihak yang bertanggung jawab melaksanakan hak dan kewajiban dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan LTE GT 2.1 dan GT 2.2 sebagaimana telah ditentukan dalam kontrak perjanjian kerja. PLN Pembangkit Sumatera bagian Utara telah merealisasikan pembayaran pertama Rp 36 miliar pada 13 November 2012 dan kedua Rp 57 miliar pada 14 Desember 2012. Pembayaran ini disusul kembali dengan pembayaran ketiga hingga keenam. "Dari rangkaian fakta hukum tersebut, perbuatan Terdakwa adalah perbuatan melawan hukum karena selain bertentangan bertentangan dengan kewajiban terdakwa sendiri yang seharusnya tidak dilakukan atau patut diketahuinya bahwa penerimaan pembayaran tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum terdakwa, dan juga bertentangan peraturan hukum," papar anggota majelis yang terdiri dari Prof Dr Abdul Latief dan Syamsul Rakan Chaniago. 

Peraturan hukum yang dimaksud yaitu: 1. Pasal 8.2, Pasal 8.2.1 dan Pasal 8.2.1.1 Keputusan Direksi Nomor 305.KIDIR/2010. 2. Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang diperbaiki dengan Perpres Nomo 40 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. 3. Pasal 18 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 004 tentang Perbendaharaan Negara. 4. Pasal 21 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 004 tentang Perbendaharaan Negara. "Bahwa perbuatan terdakwa mempunyai hubungan klausul yang secara yuridis berpotensi menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara yang cukup signifikan yaitu sebesar Rp 2,007 triliun sebesar laporan hasil audit BPKP tanggal 5 Maret 2014," ucap majelis dengan suara bulat. Atas dasar pertimbangan di atas, MA menyatakan M Bahalwan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama
sehingga Bahalwan dijatuhi hukuman 14 tahun penjara dan pidana uang pengganti. "Menghukum pula terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 337 miliar. Dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar selama 1 bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti. Dan apabila hartanya tidak mencukupi uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun," kata majelis dalam sidang pada 30 Juli 2015.

Sebelumnya, Bahalwan hanya dihukum 2 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Medan dan pada 5 Februari 2015 dinaikkan menjadi 11 tahun penjara. Tapi di dua tingkat pengadilan itu, harta Bahalwan tidak dirampas (http://news.detik.com ; diakses tanggal 28 Februari 2017) Dari artikel diatas, saya mencoba membedah bukti audit yang ditemukan, yaitu bahwa Bahalwan yang merupakan Direktur Mapna Indonesia, tidak membuat laporan sparepart material baru yang telah dipasang dan sparepart material yang lama yang harus dibuktikan dengan adanya berita acara pemasangan dan berita acara serah terima material return oleh Mapna Co. Hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya kerugian keuangan Negara yang cukup signifikan. Adanya unsur kesengajaan tidak membuat laporan sparepart material baru yang telah dipasang dan sparepart material yang lama, bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku, yaitu: 1. Pasal 8.2, Pasal 8.2.1 dan Pasal 8.2.1.1 Keputusan Direksi Nomor 305.KIDIR/2010. 2. Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang diperbaiki dengan Perpres Nomo 40 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. 3. Pasal 18 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 004 tentang Perbendaharaan Negara. 4. Pasal 21 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 004 tentang Perbendaharaan Negara. 
Referensi:
http://news.detik.com/berita/3158969/alasan-ma-rampas-harta-terdakwa-korupsi-rp-337-miliardi-proyek-pltgu


Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta
2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN AKUNTANSI FORENSIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Venti Eka Satya* 1 . Pendahuluan Istilah akuntansi forensik mulai dikenal luas di Indonesia sejak terjadinya krisis keuangan tahun 1997. Krisis yang semakin memburuk telah memaksa pemerintah untuk melakukan pinjaman pada IMF dan World Bank. Untuk memperoleh pinjaman, kedua lembaga tersebut mengharuskan dilaksanakannya Agreed-Upon Due Dilligence Process (ADDP) yang dilakukan oleh akuntan asing dan beberapa akuntan Indonesia.                 Temuan awal ADDP ini menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap dunia usaha . Sampel ADDP di enam bank menunjukkan perbankan melakukan overstatement di sisi aset ( assets ) dan understatement di sisi kewajiban ( liabilities ), (lihat Tabel 1.). [1] Tabel 1. Perbandingan Asset dan Liability LK (Laporan Keuangan) Bank dengan Temuan ADDP No. Nama Bank Aset per 30 April 1998 Kewajiban per 30 April 1998 Bank ADDP Over Statemen
KASUS AUDIT INVESTIGATIF Kasus Hambalang Andika Hamam Arifin Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis bahwa proyek bernilai Rp1,2 triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Pelajar Tingkat Nasional (National Training Camp Sport Center). Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan yang representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu, Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa Hambalang, Citeureup
DILEMA ETIKA SEORANG AUDITOR Dilema etika merupakan suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat untuk dilakukannya.  Para auditor, akuntan, serta pelaku bisnis lainnya menghadapi banyak dilema etika dalam karir bisnis mereka. Melakukan kontak dengan seorang klien yang mengancam akan mencari seorang auditor baru kecuali jika auditor itu bersedia untuk menerbitkan sutu pendapat wajar tanpa syarat, akan mewakili suatu dilema etika yang serius terutama jika pendapat wajar tanpa syarat bukanlah pendapat yang tepat untuk diterbitkan. Memutuskan apakah akan berkonfrontasi dengan seorang atasan yang telah menyatakan nilai pendapatan departemennya secara material lebih besar daripada nilai yang sebenarnya agar dapat menerima bonus lebih besar merupakan suatu dilema etika yang sulit. Tetap menjadi bagian manajemen sebuah perusahaan yang selalu mengusik dan memperlakukan para pegawainya dengan tidak layak atau melayani