KASUS
MEMBEDAH FRAUD DAN LITIGASI
Andika Hamam Arifin
Pencucian
uang/Money laundering
Merujuk
pada Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 yang diubah dengan Undang Undang Nomor
25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bahwa Pencucian
Uang/money laundering adalah “Perbuatan menempatkan, menstransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyampaikan, menitipkan, membawa keluar negeri,
menukarkan,atau perbuatan lainnya atas harta kekayaannya yang diketahui atau
patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah.
Tindak
pidana tersebut melalui tiga proses yaitu penempatan/placement,
pelapisan/layering, dan Integrasi/integration. Tahap Penempatan/placement
merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana kedalam
sistem keuangan (finansial system) atau upaya menempatkan uang giral kembali
kedalam sistem perbankan (Bank, asel mahal, barang antik dan perhiasan). Tahap
pelapisan/layering merupakan upaya untuk menstransfer harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana/dirty money yang telah berhasil ditempatkan pada
penyedia jasa keuangan (bank) sebagai hasil usaha penempatan (placement) ke
penyedia jasa keuangan yang lain (menjual sekuritas yang lain). Tahap
Integrasi/Integration merupakan upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal
dari tindak pidana yang telah berhasil masuk dalam sistem keuangan melalui
penempatan atau transfer, sehingga seolah-olah menjadiharta kekayaan yang
halal/clean money untuk kegiatan bisnis yang halal. Dalam rangka penanganannya tidak mudah dan dibutuhkan peran dari Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sesuai dengan UU No. 15 Tahun
20202 Pasal 18.
Penelusuran
Asset/Assets Terracing
Penggelapan
asset oleh frauder diretas dengan penelusuran dalam rangka recovery/pemulihan
kerugian. Penelusuran asset/asset terracing merupakan “suatu teknik yang
digunakan oleh seorang investigator/auditor forensik dengan mengumpulkan dan
mengevaluasi bukti-bukti transaksi keuangan dan non keuangan yang berkaitan
dengan asset hasil perbuatan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana
pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk diidentifikasi, dihitung
jumlahnya dan selanjutnya agar dapat dilakukan pemblokiran/pembekuan dan
penyitaan untuk pemulihan kerugian akibat pelaku TPK dan atau tindak pidana
pencucian uang. Memperoleh bukti-bukti transaksi keuangan, dilakukan melalui
penggeledahan yang diawali dengan permintaan informasi dan koordinasi dengan
pihak terkait yang kompeten. Setelah penggeledahan menganalisis bukti dan
wawancara dengan tersangka. Menyita bukti-bukti transaksi dan bukti yang
tersimpan dalam perangkat lunak maupun perangkat keras komputer, bahkan
bukti-bukti dalam bentuk digitalis.
Teknik
Penelusuran asset dengan Net worth method/metode kekayaan bersih (penghasilan
kena pajak yang tidak dilaporkan; penghasilan yang tidak sah/melawan hukum,
illegal income dari organized crime; dan penetapan net worth awal tahun).
Rumusan Net Worth = Assets – Liabilities. Metode lainnya, Expenditure Methode
untuk menentukan unreported taxeable income. Metode ini untuk wajib pajak yang
tidak mengumpulkan harta benda, tetapi mempunyai pengeluaran besar.
Audit
investigasi-forensik
Audit
investigasi/forensik dapat merupakan pengembangan lebih lanjut atas hasil audit
operasional, audit kinerja yang memuat adanya indikasi KKN dengan konsekuensi
terjadinya kerugian keuangan negara, namun demikian audit investigasi dapat
juga didasarkan indikasi kerugian yang tertayang sebagai berita dalam media
massa maupun dalam laporan atau pengaduan masyarakat.
Meskipun
merupakan audit yang bersifat khusus, namun demikian teknologi atau metodologi
auditnya dapat menggunakan teknik audit secara umum sesuai dengan standar audit
yang berlaku dengan menggunakan teknik audit yang sifatnya eksploratif melalui
(i) Pengujian terhadap fisik/physical examination yang meliputi penghitungan
uang tunai, kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud
lainnya, (ii) Meminta konfirmasi /confirmation dalam investigasi bahwa tindakan
konfirmasi harus dikolaborasi-padukan dengan sumber lain/substained, (iii)
Mengaudit dokumen atau buril /documentation termasuk dokumen digital,
electrical dan lainnya.Teknik audit selanjutnya adalah (iv) Reviu yang sifatnya
analitis/analytical review yaitu teknik menjawab terjadinya kesenjangan atas
perbandingan yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi, (v) Meminta
informasi lisan atau tertulis dari pihak yang diaudit/inquiry of the auditee
untuk mendukung masalah, (vi) Menghitung kembali/reperformance yang mana
penggunaan teknik ini dilakukan dengan menguji kebenaran perhitungan
(perkalian, pembagian, penambahan, pengurangan) dalam rangka memberikan jaminan
atas kebenaran secara aritmatikal, (vii) Mengamati/observation ini lebih
menggunakan intuisi auditor terhadap kemungkinan adanya hal-hal yang
disembunyikan.
Theodorus M. Tuanakotta menyampaikan
beberapa kondisi yang bias mengidentifikasikan risiko terjadinya kecurangan
yaitu lemahnya manajemen yang tidak bisa menerapkan pengendalian intern yang
ada atau tidak bisa mengawasi proses pengendalian; Pemisahan tugas yang tidak
jelas, terutama yang berkaitan dengan tugas-tugas pengendalian dan pengamanan
sumberdaya; Transaksi-transaksi yang tidak lazim dan tanpa penjelasan yang
memuaskan; Kasus dimana pegawai cenderung menolak liburan atau menolak promosi;
Dokumen-dokumennya hilang atau tidak jelas, atau manajemen selalu menunda
memberikan informasi tanpa alasan yang jelas; Informasi yang salah atau
membingungkan, dan pengalaman audit atau investigasi yang lalu dengan temuan
mengenai kegiatan-kegiatan yang perlu dipertanyakan atau bersifat kriminal.
Seperti
telah disinggung dalam uraian tersebut bahwa audit ini tidak sama dengan
pelaksanaan audit secara umum, audit forensik lebih menekankan pada hal-hal
atau tindakan yang diluar kewajaran atau diluar kebiasaan maupun yang
seringkali dikatakan pengecualian maupun keanehan (exception, addities,
irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada hal-hal yang
sifatnya normatif yaitu kesalahan (error) dan keteledoran (ommisions) seperti
audit umumnya. Dapat dikatakan bahwa audit forensik merupakan suatu metodologi
dan pendekatan khusus dalam menilisik kecurangan (fraud), atau audit yang
bertujuan untuk membuktikan ada atau tidaknya fraud yang dapat digunakan dalam
proses litigasi.
Upaya
penajaman atas permasalahan dari audit investigasi melalui teknologi forensik,
terutama untuk menguji bahan bukti audit yang bersifat khusus utamanya yang
ditujukan untuk mengungkap kasus-kasus atau kecurangan maupun
penyimpangan-penyimpangan yang memiliki indikasi merugikan keuangan Negara,
modus operandi, pihak-pihak yang terlibat, peraturan perundangan yang
dikangkangi, kapan terjadinya kejadian, lokus kejadian, kerugian yang
ditimbulkan, dan alat bukti perkara sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
berupa keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat, petunjuk, maupun
keterangan terdakwa. Tentunya runtutan kejadian perkara tersebut harus
dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan (BAPK) dari pihak yang
terkait dengan kejadian perkara dimaksud.
Dalam
audit forensik ini secara normatif auditor dibebani tuntutan untuk dapat
memperoleh bukti dan alat bukti yang dapat mengungkap adanya tindak pidana
fraud. Selain itu, alat bukti hasil audit forensik dimaksud untuk digunakan
oleh aparat penegak hukum (APH) untuk dikembangkan menjadi alat bukti yang
sesuai dengan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
seperti tersebut pada uraian diatas dalam rangka mendukung litigasi peradilan.
Alat bukti yang cukup dikembangkan tersebut selanjutnya dilakukan analisis yang
merupakan tanggungjawab auditor dalam upaya pembuktian sampai menemukan alat
bukti sesuai ketentuan, sedangkan penetapan terjadinya fraud maupun salah
tidaknya seseorang merupakan wewenang APH, dalam hal ini alat bukti dan
keyakinan hakim pengadilan.
Bukti Tindak Pidana
Bukti
yang diperoleh auditor harus cukup, mengingat seringnya dampak yang akan
dihadapi oleh pihak-pihak yang terlibat dan bertanggungjawab dalam kejadian
kecurangan. Dan auditor dapat menghadapi tuntutan hukum dari pihak yang merasa
dirugikan akibat kesalahan auditor yang mengambil simpulan dari fakta-fakta
yang tidak lengkap. Standar audit Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah
(SA-APFP) SK Kepala Balai Pengawasan Keuangan dan Pembangunan No Kep.378/K/1996
tentang Standar Pelaksanaan Audit APFP bahwa “ Bukti Audit yang relevan,
kompeten dan cukup harus diperoleh sebagai dasar yang memadai untuk mendukung
pendapat simpulan dan saran. Maknanya Relevan yaitu logis mendukung
pendapat/kesimpulan; Kompeten yaitu sah dan dapat diandalkan menjamin
kesesuaian dengan fakta, dan Cukup dalam arti jumlah bukti untuk menarik
kesimpulan.
Mengumpulkan
bukti. Tahapan untuk mendapatkan keyakinan bahwa bukti yang
didapatkan/diidentifikasi dapat diandalkan (leading) atau tidak dapat
diandalkan (misleading). Bila tidak, maka harus dievaluasi untuk menentukan
apakah audit harus diselesaikan sebagaimana yang direncanakan. Bukti dapat
diperoleh dari saksi, korban dan pelaku; Pencarian dan penggeledahan;
Penggunaan alat bantu (computer), dan tenaga ahli.
Evaluasi
bukti. Merupakan tahapan yang paling kritis sebab pada tahap ini akan
ditentukan diperluas atau tidaknya untuk mendapatkan informasi tambahan sebelum
simpulan diambil dan laporan disusun. Kegiatan mencakup evaluasi relevansi
dapat diterima dan kompetensi. Evaluasi bukti dilakukan bila seluruh bukti
terkait telah diperoleh. Hal ini dilakukan untuk (i) menilai kasus terbukti
atau tidak kebenarannya; (ii) evaluasi berkala untuk menilai kesesuaian
hipotesis dengan fakta yang ada, (iii) perlu tidaknya pengembangan suatu bukti,
(iv) antisipasi dengan urutan proses kejadian (sequence) dan kerangka waktu kejadian/time
frame). Teknis analisis bukti meliputi (i) Find, (ii) Read and interpret
documents, (iii) Determinate relevance, (iv) verify the evidence, (v) assemble
the evidence, dan (vi) Draw conclusion.
Pembuktian Bukti
Pembuktian
menurut KUHAP antara lain Pasal 183 menetapkan bahwa Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sedangkan jenis alat
bukti yang sah (I) keterangan saksi (Pasal 185, Pasal 1 butir 27); (ii)
Keterangan Ahli (Pasal 187, Pasal 1 butir 28). (iii) Surat (Pasal 187), (iv)
Petunjuk (Pasal 186), (v) Keterangan Terdakwa (Pasal 189). Keterangan terdakwa
saja tidak cukup untuk menbuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Prosedur
audit forensik utamanya ditekankan pada analisis laporan /analytical review dan
teknik wawancara mendalam/in depth interview walaupun demikin masih juga tetap
menggunakan teknis audit secara umum pengecekan fisik, rekonsiliasi dan
konfirmasi. Audit forensik difokuskan pada area tertentu yang telah dipindai
atau didugatengarai telah terjadi tindak kecurangan baik dari laporan pihak
dalam atau orang pihak ketiga/tip off atau petunjuk terjadinya kecurangan/red
flags, maupun dengan petunjuk lainnya.
Audit
forensik biasa dilakukan dengan melalui beberapa tahapan yaitu auditor (i)
memperoleh informasi awal fraud, (ii) memperoleh informasi tambahan bila
diperlukan, (ii) melakukan analisis layak tidaknya diinvestigasi dari data yang
tersedia, (iii) Menciptakan dan mengembangkan hipotesis-hipotesis yang
didasarkan pada hasil analisis, (iv) Melakukan pengujian terhadap hipotesis,
(v) memperbaiki maupun mengubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian, (vi)
mengumpulkan bukti-bukti fraud; (vii) evaluasi bukti-bukti, (viii) menyusun
laporan LHF. Teknologi auditnya dapat memilih menggunakan (i) Melakukan audit fisik
forensik, (ii) Melakukan konfirmasi atas hasil forensik, (iii) Audit buril atau
dokumen yang terkait dengan kasus yang diforensik, (iv) Melakukan reviu secara
analitikal atas kasus yang diforensik, (v) Meminta informasi lisan maupun
tertulis atas kasus yang diforensik, (vii) Melakukan perhitungan ulang atas
kasus forensik (reperformance), dan (viii) Melakukan pengamatan kasus forensik
(observation).
Kertas
Kerja Investigasi (KKI) didokumentasikan secara baik. KKI berisi catatan,
analisis, simpulan terhadap pelaksanaan/pelaksanaan investigasi yang menyangkut
(i) penyimpangan dan penyebabnya; (ii) pengujian yang telah dilaksanakan, (iii)
Bukti informasi yang diperoleh, (iv) hasil wawancara dan Berita Acara
Permintaan Keterangan (BAPK), (v) Gambaran tentang modus operandi; dan (vi)
simpulan audit investigasi dan rekomendasi.
Laporan
audit forensik yang utama adalah memuat informasi benar tidaknya fraud yang
dipindai terjadi dengan dukungan barang bukti maupun alat bukti yang memadai
sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Laporan dimaksud nara sumber hanya
menyebutkan simpulan benar tidaknya fraud telah terjadi.
Standar dan Profesionalitas
Standar
Auditing. Dalam pelaksanaan auditing akuntan diikat dengan Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) yaitu Standar Umum yaitu audit harus dilaksanakan oleh
seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai
auditor; dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan independensi sikap
mental harus dipertahankan oleh auditor, kemahiran professional-cermat dan
seksama. Standar Pekerjaan Lapangan yaitu jika digunakan asisten harus
disupervisi dengan sebaik-baiknya; kewajiban auditor memahami struktur
pengendalian internal; dan harus diperoleh bahan bukti kompeten dan cukup.
Standar pelaporan yaitu pendapat tentang kesesuaian dengan standar/prinsip
akuntansi umum; konsistensi sistem akuntansi; pengungkapan informatif laporan
keuangan harus cukup; dan pernyataan pendapat auditor.
Bagaimana
dengan standar audit investigasi/forensik? Theodorus M Tuanakotta mengutip
standar yang dirumuskan K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett dengan 7
(tujuh) standar untuk melakukan investigasi terhadap fraud, yaitu :
1. Seluruh
investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui/accepted best
practices)
2. Kumpulkan
bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian/due care sehingga bukti-bukti tadi
dapat diterima di pengadilan
3. Pastikan
bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks; dan
jejak audit tersedia.
4. Pastikan
bahwa para investigator mengerti hak-hak azasi pegawai dan senantiasa
menghormatinya.
5. Beban
pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan, dan pada
“penuntut umum” yang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum
administratif maupun hukum pidana.
6. Cakup
seluruh subtansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang sangat kritis
ditinjau dari segi waktu.
7. Liput
seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan,
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga,
pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tatacara atau
protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi,
kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
Kualifikasi
SDM Auditor.
Untuk
melaksanakan audit forensik maka sangatlah wajar bila seorang auditor harus
memiliki talenta yang lebih dan memiliki kompetensi yang spesial. Berkaitan
dengan hal tersebut auditor diwajibkan atau harus memiliki kompetensi akademis
dan empiris sebagai bukti proses litigasi atau memberikan keterangan ahli di
pengadilan saat proses hukum berjalan. Kompetensi auditor forensik maupun
akuntan forensik tersebut sangat berkait erat dengan ketersediaan kemampuan
audit atas permasalahan yang spesifik antara lain audit investigasi, kemampuan
menghitung terjadinya kerugian keuangan Negara, kemampuan mengendus dan
mencegah kejahatan pencucian uang, kemampuan penelusuran asset Negara,
kemampuan mengidentifikasi, menyikapi terjadinya risiko penyimpangan atau
fraud, kemampuan untuk memahami terjadinya penyimpangan transaksi keuangan dan
dalam pengadaan barang-jasa pemerintah dan kemampuan lain yang mendukung dan
relevan.
Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah “rumusan kemampuan kerja
yang mencakup aspeks pengetahuan, ketrampilan dan atau keahlian serta sikap
kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang
ditetetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku”
(Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP. 46/MEN/II/2009
tanggal tentang penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang
Audit Forensik). Kompetensi kunci yang meliputi (i) mengumpulkan, menganalisis,
dan mengorganisasikan informasi; (ii) mengkomunikasikan informasi dan ide-ide;
(iii) Merencanakan dan mengorganisasikan aktivitas-aktivitas; (iv) Bekerja
dengan orang lain dan kelompok; (v) menggunakan gagasan secara matematis dan
teknis; (vi) memecahkan masalah; dan (vii) menggunakan teknologi.
Standar
kompetensi seorang auditor meliputi bidang kemampuan untuk mencegah dan
mendeteksi fraud (kecurangan), kemampuan melaksanakan audit forensik, kemampuan
memberikan pernyataan secara keahlian dan kemampuan melaksanakan penghitungan
kerugian keuangan dan penelusuran asset. Kadar pemahaman dan kemampuan keahlian
tersebut utamanya terhadap penguasaan bidang-bidang dimaksud diatas, dalam
upaya untuk mempersiapkan pelaksanaan tugas sebagai pemberi keterangan ahli
(litigator) saat penanganan kasus tersebut masuk proses hukum di pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).
Selain
hal tersebut, juga berkaitan erat dengan meningkatkan kemampuan dan ketrampilan
dalam menggali informasi penting melalui komunikasi dan wawancara baik pada
saat pelaksanaan audit maupun saat memberikan keterangan ahli di pengadilan
saat proses hukum litigasi (litigation). Auditor dapat menghadapi tuntutan
hukum dari pihak yang merasa dirugikan akibat kesalahan auditor yang mengambil
simpulan dari fakta-fakta yang tidak lengkap. Sehingga auditor dalam
melaksanakan tugasnya harus berpegang teguh pada standar audit dan kode etik,
serta memperhatikan kerangka hukum formal yang berlaku, sehingga tidak menjadi
boomerang dikemudian hari.
Dalam
standar audit antara lain ditetapkan bahwa “audit dilaksanakan oleh auditor
yang memiliki keahlian melaksanakan audit yang dibuktikan dengan sertifikat”.
Dalam Modul Etika dan Fraud dalam audit yang dikeluarkan Pusdiklat BPKP bahwa
pemilihan tenaga auditor perlu memperhatikan (i) idealnya tim audit terdiri
dari orang-orang yang memahami budaya kegiatan/kebiasaan organisasi yang sedang
diselidiki, (ii) tenaga auditor adalah orang-orang yang terlatih dan mengerti
ilmu audit/akuntan, dan (iii) dipilih secara obyektif, tidak ada pilih kasih
agar hasil audit maksimal
Selain
mengacu pada ketentuan tersebut, auditor forensik harus memiliki Sertikat Audit
Forensik atau Certified Fraud Examiner (CFE) untuk sertifikasi dari Luar Negeri
atau Certified Fraud Examiner (CFr.E) untuk sertifikasi dari lembaga Dalam
Negeri. Dengan sertifikasi tersebut menunjukkan seseorang dimaksud telah
mempunyai kemampuan khusus atau spesialis dalam mencegah dan memberantas
kejahatan perbankan atau fraud lainnya. Sertifikat CFE maupun CFr.E merupakan
wujud sebuah pengakuan dengan standar tertinggi yang memiliki keahlian dalam
semua aspek dari profesi anti fraud. Paling tidak sekurang-kurangnya seorang
auditor forensik memiliki bekal kapabilitas kompetensi yang bersumber dari
lembaga yang memiliki kapasitas dan akreditasi dalam melegitimasi kualitas SDM
auditor forensik melalui pendidikan dan pelatihan pengembangan kompetensi dan
kapabilitas auditor untuk melaksanakan tugas audit forensik yang dikeluarkan
oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Auditor Forensik (LSPAF). Untuk auditor
investigasi layak dipertimbangkan untuk mendapatkan sertifikasi dimaksud.
Tuntutan
atas kemampuan auditor forensik untuk melaksanakan tugas harus didukung dengan
kemampuan akademis (i) memiliki dasar akuntansi dan audit yang kuat, (ii)
Mengenal perilaku manusia dan organisasi (human dan organization behavior),
(iii) Pengetahuan aspek pendorong terjadinya fraud (incentives, pressure,
attitude, rationalization, opportunities), (iv) Pengetahuan tentang hukum dan
perundangan terkait standar bukti keuangan dan bukti hukum, (v) Pengetahuan
kriminologi dan viktimologi (profiling), (vi) Pengetahuan terhadap pengendalian
internal dan, (vii) Kemampun “berfikir seperti pencuri” /think as a theft
maupun kemampuan lain yang relevan. Semakin lengkap kemampuan auditor akan
semakin lancar dalam pelaksanaan tugasnya.
Kualifikasi
yang harus dimiliki seorang akuntan forensik menurut Robert J. Lindquist yang
dikutip Theodorus M. Tuanakotta dalam Akuntansi Forensik dan Audit Investgatif,
2006 diantaranya (i) Kreatif-kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain
menganggap situasi bisnis yang normal dan mempertimbangkan insterpretasi lain;
(ii) rasa ingin tahu – keingin tahu untuk menemukan apa yang sesungguhnya
terjadi dalam serangkaian peristiwadan situasi, (iii) tak menyerah – kemampuan
untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta tidak mendukung, (iv) akal sehat
– kemampuan untuk mempertahankan persfektif dunia nyata, (v) Business sense –
kemampuan untuk memahami bisnis sesungguhnya berjalan dan bukan sekedar
memahami bagaimana transaksi dicatat. Dan (vi) percaya diri – kemampuan untuk
mempercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat bertahan di bawah cross
examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela)
Dalam
Summary of General and Specific Standards for the Profesional Practices of
Forensic Accounting yang mencakup hal berikut :
1. Independensi,
bahwa Akuntan forencsik tetap independen terhadap seluruh aktivitas yang
direview (i) Laporan dapat dipertanggungjawabkan; (ii) Objektivitas
2. Standarisasi
Professional, mencakup (i) unsur stap; (ii) pengetahuan, ketrampilan, dan
disiplin; (iii) supervisi; (iv) mematuhi standar atau pedoman; (v) hubungan
antar manusia; (vi) komunikasi; (vii) edukasi yang berkelanjutan; (viii)
prinsip kehati-hatian profesional.
3. Ruang
lingkup pekerjaan, meliputi (i) keandalan dan integritas informasi, (ii)
mentaati kebijakan, perencanaan, prosedur, perundangan, dan peraturan, (iii)
pengamanan atas aset, (iv) penggunaan sumberdaya secara ekonomis dan efisien,
(v) obyektif menetapkan prestasi dan tujuan operasional atau program.
4. Performa
atas pekerjaan review
Benang
merah konklusi atas uraian yang dapat disampaikan bahwa kedepan peran auditor
forensik maupun akuntan forensik sangat dibutuhkan dalam rangka untuk
mendeteksi dan membedah secara efektif terjadinya kecurangan (fraud) yang dapat
memberikan hasil audit berupa alat bukti yang merupakan rekaman jejak kejadian
perkara yang dapat memenuhi syarat ketentuan KUHAP Pasal 184 ayat (1). Demikian
halnya, sekurang-kurangnya auditor forensik dan akuntan forensik harus mampu
untuk memberikan konstribusi pemberantasan tindak pidana korupsi atau
Korupsi-Kolusi-Nepotisme melalui pemberian peran pada tahap pencegahan akan
terjadinya fraud melalui sosialisasi Corruption Orientation System Audit (COSA)
dan tahap penindakan melalui audit investigatif.
Seberapa
jauh kompatibilitas dan keandalan kita untuk melakukan audit forensik dalam
rangka mendapatkan alat bukti sesuai ketentuan hukum yang berlaku dalam
membedah fraud dan proses litigasi, mengingat domain kita merupakan aparat
pengawasan internal kementerian yang notabene merupakan mata dan telinga dari
manajemen puncak. Tentunya kondisi demikian tidak dapat lepas dari etika
organisasi yaitu kebijakan dan keputusan manajemen puncak sangat menentukan
langkah selanjutnya. Selain itu, perlu pemahaman atas kewenangan auditor hanya
untuk mendapatkan bukti audit sesuai ketentuan, dan yang sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku, sedangkan penetapan benar-tidaknya seseorang
bersalah dan melanggar hukum acara merupakan wewenang aparat penegak hukum
(APH). Harapan yang besar terhampar kedepan dengan dilakukannya audit forensik
agar hasilnya dapat memberikan kunci masuk yang tepat dalam rangka dapat
membedah fraud secara legal dengan alat bukti yang dapat diterima sistem hukum
pada litigasi di lembaga peradilan.
Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta
2017
Komentar
Posting Komentar