LITIGASI
HASIL AUDIT
Pengertian Litigasi
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam
bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa (hal. 1-2) mengatakan
bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti
dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi,
infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses
litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu
penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum
remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan
hasil.
Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah
penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.
Makna
Forensik
Audit forensik
merupakan audit gabungan keahlian yang mencakup keahlian akuntansi, auditing
maupun bidang hukum/perundangan dengan harapan bahwa hasil audit tersebut akan
dapat digunakan untuk mendukung proses hukum di pengadilan maupun kebutuhan
hukum lainnya. Audit forensik dilakukan dalam rangka untuk memberikan dukungan
keahlian dalam proses legal pemberian keterangan ahli dalam proses
litigasi/litigation. Audit forensik yang sebelumnya dikenal dengan akuntansi
forensik mengandung makna antara lain “yang berkenaan dengan pengadilan”.
Selain itu, juga sesuatu yang berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah
pada permasalahan hukum.
Kecurangan
Terkini
Frauder akan berusaha mengamankan hasil kejahatannya
antara lain dengan merekayasa, menyamarkan dan menutupi/menyembunyikannya dari
penegak hukum. Namun demikian, auditor forensik harus menelusuri, menelisik
jejak hasil fraud yang sudah disamarkan atau dimanipulasikan dalam bentuk asset
lainnya sehingga diperoleh alat bukti yang handal dan memadai dalam rangka proses
litigasi. Upaya kamuflase hasil tindak pidana kecurangan bisa melalui money
laundering maupun penggelapan aset.
Dapat dikatakan
bahwa audit forensik merupakan suatu metodologi dan pendekatan khusus dalam
menilisik kecurangan (fraud), atau audit yang bertujuan untuk membuktikan ada
atau tidaknya fraud yang dapat digunakan dalam proses litigasi.
Audit
investigasi-forensik
Akuntansi forensik
dibagi ke dalam dua bagian: jasa penyelidikan (investigative services) dan jasa
litigasi (litigation services). Jenis layanan pertama mengarahkan pemeriksa
penipuan atau auditor penipuan, yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang
akuntansi mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan penipuan, dan
misinterpretasi. Jenis layanan kedua merepresentasikan kesaksian dari seorang
pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi forensik yang ditawarkan untuk
memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus perceraian.
Sehingga, tim audit harus menjalani pelatihan dan diberitahu tentang pentingnya
prosedur akuntansi forensik di dalam praktek audit dan kebutuhan akan adanya
spesialis forensik untuk membantu memecahkan masalah.
Dalam audit
forensik ini secara normatif auditor dibebani tuntutan untuk dapat memperoleh
bukti dan alat bukti yang dapat mengungkap adanya tindak pidana fraud. Selain
itu, alat bukti hasil audit forensik dimaksud untuk digunakan oleh aparat
penegak hukum (APH) untuk dikembangkan menjadi alat bukti yang sesuai dengan
yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seperti
tersebut pada uraian diatas dalam rangka mendukung litigasi peradilan. Alat
bukti yang cukup dikembangkan tersebut selanjutnya dilakukan analisis yang
merupakan tanggungjawab auditor dalam upaya pembuktian sampai menemukan alat
bukti sesuai ketentuan, sedangkan penetapan terjadinya fraud maupun salah
tidaknya seseorang merupakan wewenang APH, dalam hal ini alat bukti dan
keyakinan hakim pengadilan.
Untuk melaksanakan
audit forensik maka sangatlah wajar bila seorang auditor harus memiliki talenta
yang lebih dan memiliki kompetensi yang spesial. Berkaitan dengan hal tersebut
auditor diwajibkan atau harus memiliki kompetensi akademis dan empiris sebagai
bukti proses litigasi atau memberikan keterangan ahli di pengadilan saat proses
hukum berjalan. Kompetensi auditor forensik maupun akuntan forensik tersebut
sangat berkait erat dengan ketersediaan kemampuan audit atas permasalahan yang
spesifik antara lain audit investigasi, kemampuan menghitung terjadinya
kerugian keuangan Negara, kemampuan mengendus dan mencegah kejahatan pencucian
uang, kemampuan penelusuran asset Negara, kemampuan mengidentifikasi, menyikapi
terjadinya risiko penyimpangan atau fraud, kemampuan untuk memahami terjadinya
penyimpangan transaksi keuangan dan dalam pengadaan barang-jasa pemerintah dan
kemampuan lain yang mendukung dan relevan.
Standar kompetensi
seorang auditor meliputi bidang kemampuan untuk mencegah dan mendeteksi fraud
(kecurangan), kemampuan melaksanakan audit forensik, kemampuan memberikan
pernyataan secara keahlian dan kemampuan melaksanakan penghitungan kerugian
keuangan dan penelusuran asset. Kadar pemahaman dan kemampuan keahlian tersebut
utamanya terhadap penguasaan bidang-bidang dimaksud diatas, dalam upaya untuk
mempersiapkan pelaksanaan tugas sebagai pemberi keterangan ahli (litigator)
saat penanganan kasus tersebut masuk proses hukum di pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (TIPIKOR).
Selain hal
tersebut, juga berkaitan erat dengan meningkatkan kemampuan dan ketrampilan
dalam menggali informasi penting melalui komunikasi dan wawancara baik pada
saat pelaksanaan audit maupun saat memberikan keterangan ahli di pengadilan
saat proses hukum litigasi (litigation). Auditor dapat menghadapi tuntutan
hukum dari pihak yang merasa dirugikan akibat kesalahan auditor yang mengambil
simpulan dari fakta-fakta yang tidak lengkap. Sehingga auditor dalam
melaksanakan tugasnya harus berpegang teguh pada standar audit dan kode etik,
serta memperhatikan kerangka hukum formal yang berlaku, sehingga tidak menjadi
boomerang dikemudian hari.
Seberapa jauh
kompatibilitas dan keandalan kita untuk melakukan audit forensik dalam rangka
mendapatkan alat bukti sesuai ketentuan hukum yang berlaku dalam membedah fraud
dan proses litigasi, mengingat domain kita merupakan aparat pengawasan internal
kementerian yang notabene merupakan mata dan telinga dari manajemen puncak.
Tentunya kondisi demikian tidak dapat lepas dari etika organisasi yaitu
kebijakan dan keputusan manajemen puncak sangat menentukan langkah selanjutnya.
Selain itu, perlu pemahaman atas kewenangan auditor hanya untuk mendapatkan
bukti audit sesuai ketentuan, dan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, sedangkan penetapan benar-tidaknya seseorang bersalah dan melanggar
hukum acara merupakan wewenang aparat penegak hukum (APH). Harapan yang besar terhampar
kedepan dengan dilakukannya audit forensik agar hasilnya dapat memberikan kunci
masuk yang tepat dalam rangka dapat membedah fraud secara legal dengan alat
bukti yang dapat diterima sistem hukum pada litigasi di lembaga peradilan.
Risiko Litigasi
Risiko litigasi
diartikan sebagai resiko yang melekat pada perusahaan yang memungkinkan
terjadinya ancaman litigasi
oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan
perusahaan yang merasa
dirugikan. Pihak-pihak yang berpentingan
tersebut meliputi kreditor,
investor, dan regulator. Risiko litigasi
dapat diukur dari
berbagai indikator keuangan
yang menjadi
faktor penentu kemungkinan terjadinya litigasi. Akhir-akhir ini, risiko litigasi terhadap
perusahaan karena kesalahan pelaporan keuangan sering terjadi
pada perusahaan-perusahaan go
public (Juanda, 2008). Bahkan, intensitas risiko litigasi semakin
tinggi ketika penegakan hukum (law enforcement) dalam suatu
lingkungan pasar modal
dijalankan dengan baik.
Tuntutan
litigasi dapat timbul dari pihak kreditor, investor atau pihak lain yang
berkepentingan dengan perusahaan.
Investor bisa bertindak sebagai penuntut bila manajer
memberikan laporan keuangan yang tidak relevan,
yang berakibat bisa
merugikan di pihak
investor. Laporan keuangan
merupakan dasar pijakan
utama untuk melakukan
tuntutan hukum. Beberapa kesalahan
dalam pelaporan karena
ketidakpatuhan terhadap standar akuntansi dan penundaan informasi
negatif akan mudah dijadikan bahan tuntutan (Juanda, 2008).
Francis
et al.
(1994), Johnson et al.
(2001), Rogers dan
Stocken (2005) dalam Krishnan dan Lee (2009) yang meneliti faktor determinan pemicu litigasi
menyimpulkan bahwa kapitalisasi pasar, beta saham dan perputaran volume saham
secara positif berhubungan dengan probabilitas terjadinya tuntutan hukum.
Dikarenakan luasnya
konsekuensi dari resiko
tersebut, maka perusahaan dituntut
seminimal mungkin mengurangi
peluang resiko litigasi. Salah
satu cara yang dapat
ditempuh adalah dengan meningkatkan fungsi monitoring dan pengendalian
perusahaan melalui komite audit.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Litigasi Auditor
Menurut
Mayangsari (2005) faktor-faktor yang
mempengaruhi litigasi auditor dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: (i) Karakteristik
auditee atau yang biasa disebut inherent risk, (ii) Karaketristik auditor dan
(iii) Karakteristik hubungan auditee-auditor. “Argumen bahwa faktor diduga
mempengaruhi litigasi auditor dapat dijelaskan dengan teori agensi untuk
karakteristik auditee. Sedangkan faktor kompetensi serta independensi yang
melekat pada profesi auditor diduga kuat mempengaruhi litigasi auditor”
Akuntansi forensik dan Penerapan Hukum
Sebenarnya akuntan
dan akuntansi forensik tidak sepenuhnya berkaitan dengan pengadilan saja.
Istilah pengadilan memberikan kesan bahwa akuntansi forensik semata-mata
berperkara di pengadilan, dan istilah lain ini disebut litigasi (litigation).
Di samping proses litigasi ada proses penyelesaian sengketa dimana jasa akuntan
forensik juga dapat dipakai. Kegiatan ini bersifat non litigasi. Misalnya
penyelesaian sengketa lewat arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa atau
alternative dispute resolution.
Akuntan Publik Berpotensi Menjadi Target Litigasi
Profesi akuntan beberapa tahun terakhir acapkali mendapat sorotan tajam
terkait dengan berbagai skandal koorporasi besar yang melibatkan akuntan publik.
Akuntan public yang
bersalah selama ini hanya dikenakan sanksi administratif
maksimal pencabutan ijin praktik. Namun, di masa mendatang akuntan publik tidak
bias lepas dari tekanan arus global dan sangat berpotensi menjadi target
litigasi atau peradilan.
Salah satu penyebab utama terjadinya litigasi adalah adanya kesenjangan
antara apa yang diekspektasi oleh publik dari sebuah pekerjaan audit dengan apa
yang diekspektasikan oleh audit itu sendiri. Publik, khususnya investor,
kreditor, dan pemerintah memeiliki ekspektasi yang sangat besar dan
mengharapkan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan dalam proses pengambilan
keputusan ekonomik. Ekspektasi ini muncul karena mereka percaya bahwa informasi
tersebut kewajarannya sudah diverifikasi oleh auditor independent sehingga
dipandang sebagai jaminan.
Akibat
adanya kesenjangan ekspektasi tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan keputusan akuntan
akan melaporkan akuntan pebulik karena dianggap menipu. Saat auditor menghadapi
litigasi dan dituduh melakukan kelalaian maka evaluator/hakim akan mengevaluasi
apakah auditor telah melaksanakan kehati-hatian professional dalam pekerjaaannya. Auditor dan
evaluator merupakan dua pihak yang berada pada kutub yang berlawanan. Auditor
berada di masa lalu(foresight) sementara evaluator ada pada saat ini setelah
hasil akhir diketahui(hindsight).
Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta
2017
Komentar
Posting Komentar