Langsung ke konten utama
PART B- Hakikat Tanggung Jawab Profesi Auditor
Rita Sri Erviani
Fakultas ekonomi Universitas Islam Indonesia
sriervianirita@gmail.com

Pada kesempatan kali ini, penulis akan melanjutkan opini yang sebelumnya di Part A telah penulis sampaikan bahwa kesimpulan akhir tulisan akan disampaikan pada bagian Part B. dengan pendapat bahwa untuk hakikat pertanggung jawaban profesi akuntan dan auditor adalah hakikat yang sebenar- benarnya dipahami adalah memiliki satu arah yang sama.
Untuk memaparkan secara umum tentang hakikat tanggung jawab auditor, kali ini penulis berasumsi bahwa seorang auditor dikatakan bertanggung jawab tentunya dalam koridor etis ialah ketika ia dapat melaksankan profesinya berdasarkan pada memahami secara menyeluruh tentang konsep auditing dan menjalankan profesinya berdasarkan standar auditing yang telah diatur.
A.      Memahami Konsep Auditing
Menurut Mautz dan Sharaf (2006) konsep auditing yang terdiri dari; bukti audit, independensi, kewajaran, kehati- hatian dan etika merupakan konsep dalam melakukan profesi sebagai auditor yang meski dipahami oleh auditoritu sendiri. Berikut urgensi dari memahami konsep auditing bagi auditor yang akan penulis paparkan sebagai berikut:
1.         Bukti Audit
Untuk memberikan opini yang merupakan tugas utama seorang auditor, opini tersebut tidak dapat dinyatakan tanpa adanya bukti yang dapat mendukung pernyataan opini dari auditor. Oleh karena itu mencari dan menemukan bukti yang sesungguhnya adalah kewajiban dari auditor. Tanggung jawab untuk menjadikan bukti audit sebagai landasan dasar dalam memberikan opini kepada public adalah tanggung jawab yang sudah seharusnya dimiliki.
2.       Independensi
Sikap dan mental yang tidak terikat oleh kepentingan pihak manapun adalah indpensi yang mesti dimiliki oleh seorang auditor. Tanpa memihak dan tidak toleran terhadap sekecil apapun kesalahan dan tetap harus diungkapkan adalah indepensi dalam profesi auditor. Tanggung jawab sperti ini mungkin banyak tidak disenangi bagi oknum-oknum tertentu yang terdapat di lini institusional namun kenyataannya sikap ini sikap yang menjadikan auditor itu sesungguhnya profesi yang harus dipertanggungjawabkan.
3.       Kewajaran
Memberikan opini yang jujur merupakan tuntutan atas profesi auditor. Tidak ada yang perlu untuk ditutup- tutupi, tidak memihak dan sudah ketentuan untuk memberikan opini berdasarkan pada kewajaran atas bukti- bukti yang diperoleh. Tanggung jawab semacam inilah merupakan tanggung jawab yang wajar bagi profesi auditor.
4.       Kehati- hatian
Ketika melaksanakan proses auditing sikap kehati- hatian adalah tanggung jawab auditor agar tidak melakukan kesalahan yang fatal yang dapat menghasilkan opini yang keliru atau berdampak buruk bagi pihak- pihak yang ada. Oleh karena hendaknya pra audit- audit- pasca audit sikap kehati- hatian tetap menjadi benteng yang dijadikan sebagai bentuk menjadikan tanggung jawab profesi ditunaikan secara professional.
5.       Etika
Dalam melakukan auditing, setiap Negara telah menjadikan isu etika merupakan bagian yang penting bagiprofesi- profesi yang ada. Di antaranya ialah profesi auditor. Sehingga dengan dibuatnya etika berdasarkan lingkup profesi auditor, auditor dapat lebih bertanggung jawab melaksanakan profesinya.
Hal- hal di atas merupakan salah satu dimensi implementasi auditor dapat mencapai hakikat pertanggung jawaban profesi. Namun selain itu terdapat dimensi lain yang menjadi bagian dari proses mencapai hakikat pertanggung jawaban profesi auditor seperi yang akan penulis paparkan di bawah ini.
B.      Standar Auditing
Tanggung jawab atas profesi merupakan tuntutan untuk melaksanakan suatu profesi dalam hal ini auditor yaitu dengan syarat dikatakan bertanggung jawab apabila melaksanakan praktek atau teknis berdasarkan pada standar dalam auditing itu sendiri. Adapun menurut Haryono (2001: 53) standar auditing terdiri dari bagian- bagian berikut:
1.         Standar Umum
a.       Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan tehnis cukup sebagai auditor.
b.       Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c.       Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
2.       Standar Pekerjaan Lapangan
a.       Pekerjaan harus direncanakan sebaik- baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi  dengan semestinya.
b.       Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
c.       Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3.       Standar Pelaporan
a.       Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
b.       Laporan audit harus menunjukan keadaan yang di dalamnya terdapat prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyususnan laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
c.       Pengungkapan informative dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
d.       Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan audit harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada dan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya.
Hal- hal dalam standar auditing yang telah penulis paparkan di atas merupakan muatan dari mekanisme umum yang dapat menghantarkan kepada hakikat tanggug jawab profesi auditor. Perlu peulis tekankan kembali baik bagian klasisifkasi yang telah penulis jabarkan pada bagian A maupun B adalah mekanisme umum dalam pencapaian hakikat tanggung jawab profesi auditor.
Pada Part A terdapat kode perilaku akuntan, prinsip- prinsip etika dan kepatuhan pada manajemen. Sedangkan untuk muatan pada part B meliputi pemahaman terhadap konsep auditing dan implementasi terhadap standar auditing. Dari perbedaan yang dapat kita ketahui tersebut, hal- hal tersebut adalah dimana yang penulis beberapa kali nyatakan bahwa hal tersebut ialah mekanisme umum. Sedangkan mekanisme khusus yang menjadi poin utama pada topic baik Part A maupun Part B yakni akan penulis sampaikan pada bagian selanjutnya pada bagian kesimpulan berikut ini.

C.      Kesimpulan atas Part A dan Part B
Hakikat pertanggung jawaban atas profesi dan akuntan secara umum diketahui bahwa untuk profesi akuntan pertanggung jawaban ditujukan kepada piha manajemen sedangkan auditor pertanggung jawabannya kepada public.
Dari ranah pertanggung jawaban atas profesi baik akuntan maupun auditor, dalam Islam telah ditegaskan bahwa segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh manusia pada akhirnya akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT. Terdapat salah satu  dalil yang menyebutkan secara jelas terkait pertanggung jawaban seseorang atas apa yang telah dilakukannya.
Dalam surat Al Mudatstsir ayat 38 dinyatakan : كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ(38) Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telahdiperbuatnya” (http://www.ikadi.or.id).  Sehingga hakikat pertanggung jawaban dalam Islam termasuklah ke dalamnya tanggung jawab atas profesi merupakan tanggung jawab yang utama dan hanya satu- satunya ditujukan kepada pemilik jiwa manusia yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, melalui kesimpulan ini penulis ingin menyatakan bahwa tidak ada satu perkarapun yang dapat terlewat pertanggung jawabannya dari pandangan Allah SWT. Karena Dia Maha Mengetahui apa yang ada di dunia ini. itulah hakikat tanggung jawab profesi yang sebenanr- benar ranah tujuan yang kita tuju secara hakiki.

Daftar Pustaka
Haryono Jusup. 2001. Auditing Buku 1. Yogyakarta: STIE YKPN
R.K. Mautz and Hussein A. Sharaf. 2006. The Philosophy Of Auditing. Florida: American Accounting Association

Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta
2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN AKUNTANSI FORENSIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Venti Eka Satya* 1 . Pendahuluan Istilah akuntansi forensik mulai dikenal luas di Indonesia sejak terjadinya krisis keuangan tahun 1997. Krisis yang semakin memburuk telah memaksa pemerintah untuk melakukan pinjaman pada IMF dan World Bank. Untuk memperoleh pinjaman, kedua lembaga tersebut mengharuskan dilaksanakannya Agreed-Upon Due Dilligence Process (ADDP) yang dilakukan oleh akuntan asing dan beberapa akuntan Indonesia.                 Temuan awal ADDP ini menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap dunia usaha . Sampel ADDP di enam bank menunjukkan perbankan melakukan overstatement di sisi aset ( assets ) dan understatement di sisi kewajiban ( liabilities ), (lihat Tabel 1.). [1] Tabel 1. Perbandingan Asset dan Liability LK (Laporan Keuangan) Bank dengan Temuan ADDP No. Nama Bank Aset per 30 April 1998 Kewajiban per 30 April 1998 Bank ADDP Over Statemen
KASUS AUDIT INVESTIGATIF Kasus Hambalang Andika Hamam Arifin Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis bahwa proyek bernilai Rp1,2 triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Pelajar Tingkat Nasional (National Training Camp Sport Center). Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan yang representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu, Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa Hambalang, Citeureup
DILEMA ETIKA SEORANG AUDITOR Dilema etika merupakan suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat untuk dilakukannya.  Para auditor, akuntan, serta pelaku bisnis lainnya menghadapi banyak dilema etika dalam karir bisnis mereka. Melakukan kontak dengan seorang klien yang mengancam akan mencari seorang auditor baru kecuali jika auditor itu bersedia untuk menerbitkan sutu pendapat wajar tanpa syarat, akan mewakili suatu dilema etika yang serius terutama jika pendapat wajar tanpa syarat bukanlah pendapat yang tepat untuk diterbitkan. Memutuskan apakah akan berkonfrontasi dengan seorang atasan yang telah menyatakan nilai pendapatan departemennya secara material lebih besar daripada nilai yang sebenarnya agar dapat menerima bonus lebih besar merupakan suatu dilema etika yang sulit. Tetap menjadi bagian manajemen sebuah perusahaan yang selalu mengusik dan memperlakukan para pegawainya dengan tidak layak atau melayani