Temuan
BPK Terkait Pembelian RS Sumber Waras
Jafar Shodiq
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang lebih
dikenal dengan sebutan Ahok belum lama ini secara terang-terangan menyudutkan
salah satu lembaga negara, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan
mengatakan bahwa hasil audit BPK mengenai pembelian Rumah Sakit (RS) Sumber Waras
"ngaco".
Menanggapi pernyataan Gubernur DKI seperti itu, BPK tentu
melakukan pembelaan diri. Di sisi lain para praktisi yang berprofesi sebagai
auditor serta praktisi bidang Good Corporate Governance (GCG) merasa kecewa
terhadap pernyataan tersebut, karena auditor merupakan profesi yang memiliki
standar khusus serta mempunyai organisasi profesi internal yang relatif solid.
Auditor negara seperti BPK dan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP), auditor BUMN dan auditor swasta tergabung dalam
berbagai asosiasi internal seperti Institut Internal Audit (IIA) Indonesia dan
Asosiasi Auditor Perbankan, bahkan khusus untuk auditor inspektorat tergabung
dalam Asosiasi Auditor Pemerintah Indonesia (AAPI).
BPK itu sendiri adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003.
BPK itu sendiri adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003.
BPK memiliki dasar hukum serta peraturan yang menjadi acuan
utama dalam setiap proses audit yang dilakukannya, seperti Undang-undang No. 17
tentang Keuangan Negara, Undang-ndang No. 15 tentang BPK, Peraturan BPK No. 01
tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara serta dilengkapi dengan
Peraturan BPK No. 2 tahun 2007 tentang Kode Etik BPK.
Terkait proses audit, lembaga negara tersebut tidak
melakukannya secara sembarangan. Proses audit harus sesuai dengan peraturan BPK
mengenai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Standar tersebut disusun pada
2007 ketika lembaga tersebut diketuai oleh Prof Dr Anwar Nasution. Ketika itu
satu tim yang terdiri dari 20 auditor profesional menyusun Pedoman Pemeriksaaan
Keuangan yang kemudian menjadi acuan BPK.
Standar Pemeriksaan setebal 131 halaman tersebut berisi
mengenai standar umum dan prinsip-prinsip pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan
kinerja, pelaksanaan pemeriksaan keuangan, pelaksanaan pemeriksaaan tujuan
tertentu, dan standar pelaporan.
Dengan adanya berbagai peraturan dan standar pemeriksaan
keuangan negara tersebut, seluruh auditor BPK memiliki referensi dan pegangan
yang kuat dalam mendukung pelaksanaan pekerjaan audit yang dilakukannya. Di
samping itu supervisi dari internal BPK sendiri terhadap tim auditnya juga
selalu dilakukan, baik dari aspek kualitas laporan maupun aspek pelaksanaan
audit, sehingga hasil laporan audit yang disusun benar-benar dapat dipertanggungjawabkan
secara profesional.
Para auditor BPK juga harus taat pada kode etik. Jika
terdapat pelanggaran dari auditor BPK, maka masyarakat atau obJek audit dapat
melaporkannya ke Dewan Kode Etik BPK yang terdiri dari pihak eksternal dan internal
lembaga negara tersebut.
Keahlian para auditor BPK itu sendiri telah mendapat
pengakuan dunia, dibuktikan dengan dimenangkannya kontrak audit Badan Energi
Atom Dunia atau The International Atomic Energy Agency (IAEA) yang berbasis di
Swedia.
Disamping itu, BPK dipercaya oleh "International
Organisation of Supreme Audit Institutions" (INTOSAI) sebagai organisasi
utama BPK dari seluruh dunia untuk menjadi Ketua dari Working Group untuk
Environmental Auditing.
Kepercayaan internasional tersebut muncul tidak lain karena
BPK memiliki kualitas dan rekam jejak yang relatif panjang dalam melakukan
proses audit di sebuah negara yang besar seperti Indonesia. Disamping itu
interaksi dengan berbagai lembaga internasional membuat kualitas dan kompetensi
auditor BPK semakin berkembang serta dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang ada di bidang yang relevan.
Terkait audit terhadap pembelian Rumah Sakit (RS) Sumber
Waras, audit tersebut merupakan permintaan dari KPK untuk melakukan audit
investigasi atas laporan publik terhadap proses pembelian RS tersebut.
Informasi dari media massa menyebutkan adanya enam temuan
penting dari hasil audit BPK itu, namun dari enam temuan tersebut terdapat satu
temuan yang mengindikasikan adanya kerugian keuangan daerah yaitu adanya
kerugian keuangan daerah sebesar Rp 191.334.550.000 (dari selisih harga beli
antara Pemprov DKI dengan PT CKU) atau Rp484.617.100.000 (dari selisih harga
beli dengan nilai aset setelah dibeli karena perbedaan NJOP).
Saat beli dari pihak Sumber Waras, Pemprov DKI menggunakan
NJOP di Jl Kiai Tapa dengan harga Rp20.755.000 per m2, tapi faktanya lokasi
tanah berada di JlTomang Utara yang harga NJOP-nya Rp Rp 7,44 juta per m2.
Temuan inilah yang menjadi polemik dan kisruh antara Pemda DKI
yang terus membantah hasil temuan tersebut dengan BPK yang juga memiliki dasar
kuat atas hasil laporan auditnya. Temuan audit tentunya berdasarkan penelaahan
atas bukti-bukti yang telah melalui proses panjang sesuai Standar Pemeriksaan
Keuangan BPK No 01.
Dalam standar itu disebutkan bahwa bukti yang cukup,
kompeten, dan relevan harus diperoleh untuk menjadi dasar yang memadai bagi
temuan dan rekomendasi pemeriksa.Pemeriksa harus menilai kualitas dan kuantitas
bukti yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan pemeriksaan. Dengan demikian
pemeriksa harus melakukan pengujian bukti dan mengembangkan temuan pemeriksaan.
Standar inilah yang menjadi acuan para pemeriksa BPK,
disamping juga "best practice" dalam internal audit. Dengan demikian,
proses audit BPK dan Sumber Waras jelas melalui mekanisme dan mengikuti standar
yang telah dimiliki oleh BPK.
Tetapi proses audit Sumber Waras berbeda dengan audit pada
umumnya, karena murni merupakan audit investigasi atau audit dengan tujuan
tertentu yang memiliki kerahasiaan sesuai peraturan. Audit investigasi
(sebagaimana yang dimintakan KPK) sendiri dilakukan mengingat telah adanya
indikasi yang kuat terkait tindakan kecurangan dan pelanggaran terhadap
perundang-undangan. KPK sebagai lembaga yang meminta audit investigasi juga
tidak sembarangan dalam menetapkan suatu laporan untuk ditindaklanjuti dengan
audit investigatif.
Saat ini, sesuai dengan mekanisme, hasil audit BPK mengenai
Sumber Waras sedang ditindaklanjuti oleh KPK. Kita dukung dan tunggu hasil dari
penyelidikan kasus tersebyut di KPK.
Pertanyaannya kemudian, BPK dengan segudang prestasi dan
kepercayaan dari dalam dan luar negeri, apakah mungkin hasil auditnya
"ngaco"? Sebagai konsultan audit dan manajemen risiko, saya rasa
kemungkinannya kecil. Kalau keliru atau ada yang salah bisa saja terjadi,
faktor "human eror" bisa saja ada, tetapi kalau "ngaco"
jelas berlebihan, apalagi diucapkan oleh seorang gubernur. Ucapan tersebut bisa
menjadi preseden buruk bagi hubungan obJek audit dengan BPK serta komunikasi
antar lembaga negara lainnya.
Sebagai lembaga negara yang memegang peranan penting dalam
pengendalian risiko korupsi dan peningkatan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan keuangan negara, sudah sepantasnya pejabat publik mengapresiasi
kinerja BPK, bersinergi, dan memberikan masukan konstruktif jika masih ada
kelemahan.
Pejabat publik terutama para gubernur dan pimpinan lembaga
negara sudah sepantasnya menjaga wibawa BPK serta memberikan rasa hormatnya
kepada lembaga tersebut mengingat tugas dan peran BPK sebagai "Head
Country Audit" satu-satunya di negara ini dengan misi mulia menjaga dan
menjadi benteng kebocoran keuangan negara.
Beberapa masukan untuk perbaikan mungkin perlu
dipertimbangkan oleh BPK, seperti memperbaiki standar pemeriksaan BPK sesuai
"best practice", misalnya dengan menambah metode "risk based
audit" agar proses audit lebih efektif dan efisien serta menambah panduan
audit berbasis teknologi informasi, selain membentuk Dewan Pengawas BPK yang
terdiri dari kalangan profesional, akademisi, tokoh nasional, dan tokoh ormas
yang memiliki wibawa dan integritas.
*Penulis adalah Konsultan senior Good Corporate Governance (GCG) & Audit di Centria Integrity Advisory. Konsultan Audit Bank BJB Tbk, Bank Jatim Tbk, dan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Konsultan Manajemen Risiko Perusahaan Gas Negara Tbk, Perum Jamkrindo, dan Ciputra Development Tbk. Trainer Manajemen Mutu Kementerian Perindustrian dan anggota Instiute Internal Audit (IIA) Indonesia serta Ketua Bidang Ekonomi dan Energi Pengurus Besar Ormas Mathlaul Anwar.
*Penulis adalah Konsultan senior Good Corporate Governance (GCG) & Audit di Centria Integrity Advisory. Konsultan Audit Bank BJB Tbk, Bank Jatim Tbk, dan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Konsultan Manajemen Risiko Perusahaan Gas Negara Tbk, Perum Jamkrindo, dan Ciputra Development Tbk. Trainer Manajemen Mutu Kementerian Perindustrian dan anggota Instiute Internal Audit (IIA) Indonesia serta Ketua Bidang Ekonomi dan Energi Pengurus Besar Ormas Mathlaul Anwar.
Analisis pendapat pribadi:
Alur peristiwa pembelian
Lahan RS Sumber Waras:
Lahan RS Sumber Waras (RSSW) seluas 69.888 m2 awalnya satu bidang tanah
dengan satu sertifikat dan satu SPPT PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Pada tahun
1970 tanah dipecah menjadi 2 (dua) sertifikat masing-masing 33.478 m2 (SHM) dan
36.410 m2 (HGB). Namun pemecahan sertifikat itu tidak diikuti dengan pemecahan
SPPT PBB sehingga 2 (dua) sertifikat tapi dalam 1 (satu) SPPT PBB.
Alamat tanah dua sertifikat tersebut berada di Jalan Kyai Tapa. Kenyataan
di lapangan, tanah yang berbatasan langsung dengan jalan Kyai Tapa adalah
sertifikat SHM seluas 33.478 m2 (yang TIDAK dibeli Pemprov DKI) sedangkan
sertifikat HGB seluas 36.410 m2 yang dibeli Pemprov DKI tidak memiliki akses
dengan Jalan Kyai Tapa meskipun alamatnya Jalan Kyai Tapa.
Proses perencanan pembelian dapat disampaikan sebagai berikut:
Tanggal 07 Juli 2014 yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) pemilik tanah
HGB 36.410 m2 RSSW mengirimkan Surat Penawaran Harga tanah RSSW kepada Pemprov
DKI Jakarta seharga Rp. 755.689.550.000. Sehari setelah itu yaitu tanggal 08
Juli 2014 Plt. Gubernur DKI Jakarta mengirimkan disposisi kepada Kepala Bappeda
untuk menganggarkan pembelian tanah RSSW melalui APBD-P 2014. Harga tersebut
merupakan harga sesuai NJOP PBB tahun 2014 yang bernilai Rp. 20.755.000 per m2
sehingga untuk membeli tanah seluas 36.410 membutuhkan dana Rp. 755.689.550.
Kemudian pelaksanaan pembelian dilakukan secara tunai dengan menggunakan
cek Bank DKI sebesar Rp. 755.689.550.000 pada tanggal 31 Desember 2014 sekitar
pukul 19.00 WIB (malam hari). Dari kejadian tersebut, auditor BPK menyimpulkan
bahwa pada kasus pembelian tanah SUmber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta telah
terjadi penyimpangan yang sempurna dengan alat Bukti sebagai berikut:
1. Undang-Undang atau Peraturan: Perpres RI Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
2. Jumlah Kerugian Negara Rp. 191.334.550.000 sesuai hasil audit investigative
BPK.
3. Dokumen: Surat Penawaran Harga YKSW, Disposisi Gubernur, APBD-P 2014, Cek
Pembayaran (SP2D), notula rapat, dan lain-lain.
4. Saksi: Ketua YKSW, Kepala Bappeda, Kepala Dinkes, dan lain-lain.
Dari bukti-bukti yang didapatkan BPK,
menurut penulis bukti yang didapat sudah kompeten yaitu bukti yang dapat
dipercaya, sah, objektif, dan relevan karena sudah mencakup hal-hal berikut:
a.
Sumber bukti jelas dan dapat dipertanggungjawabkan
b.
Bukti juga relevan karena terkait dengan peristiwa yang terjadi
c. Bukti yang ditemukan merupakan bukti yang objektif dan tidak ada sangkalan
atas bukti yang ditemukan.
d. Saat atau waktu juga tepat karena tidak terlalu lama dan masih dalam
koridor peristiwa terkait.
Sumber berita: Antara News Kamis 09 Juni 2016
http://www.antaranews.com/berita/566299/temuan-bpk-terkait-pembelian-rs-sumber-waras
Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta
2017
Komentar
Posting Komentar