Langsung ke konten utama




Kasus Pelindo II 

Berdasarkan penuturan Direktur Utama Pelabuhan Indonesia II Richard Joost Lino.

2011 

Pelindo II menggelar lelang terbuka untuk pengadaan 10 unit mobile crane dengan anggaran Rp 58,9 miliar dalam rangka meningkatkan produktivitas. Khususnya kecepatan penanganan barang dipelabuhan. Proses pengadaan mengikuti Surat Keputusan Direksi Pelindo II tentang prosedur dan tata cara pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pelindo II. Dasar penggunaan SK Direksi adalah peraturan pemerintah nomor 45 tahun 2005 dan Peraturan Menteri BUMN nomor 5 tahun 2008. Lelang pertama dilakukan pada Agustus 2011 yang diikuti lima perusahaan. Yakni, PT Altrak 1978, PT Traktor Nusantara, PT Hyundai Corporation, PT Berdikari Pondasi Perkasa dan Guanxi Narishi Century M&E Equipment Co. Ltd. “Lelang dianggap gugur karena penawaran harga vendor pada alat tertentu khususnya kapasitas 65 ton masih lebih tinggi dibandingkan harga perkiraan sendiri,” kata dia. Kemudian dilakukan lelang lagi pada 2011 yang diikuti enam perusahaan. Yakni, PT Altrak 1978, PT Traktor Nusantara, PT Hyundai Corporation, PT Berdikari Pondasi Perkasa dan Guanxi Narishi Century M&E Equipment Co. Ltd. Dan PT Ifani Dewi. Namun, pada saat rapat penjelasan (aanwijzing) hanya tiga perusahaan yang hadir. Pada tahap berikutnya hanya dua perusahaan yang memasukkan penawaran yakni Guanxi Narishi Century M&E Equipment Co. Ltd dan PT Ifani Dewi. “Dari hasil rekapitulasi evaluasi dan penelitian dokumen administrasi dan teknismenyatakan Guanxi Narishi Century M&E Equipment Co. Ltd lulus dan PT Ifani Dewi tidak,” ungkapnya.


2012 

Pada Januari 2012, Guanxi Narishi dinyatakan keluar sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran setelah pajak pertambahan nilai Rp 45.949.200.000. Setelah negosiasi, harga turun menjadi Rp 45.650.000.000. “Harga ini 23 persen lebih rendah dari anggaran dalam RKAP dan masih di bawah HPS,” katanya. Ia menegaskan, pengadan crane juga sudah diaudit BPK pada 2014.Berdasarkan hasil Auditama Keuangan Negara VII dengan nomor 10/Auditama VII/PDTT/02/2015, BPK merekomendasikan agar Pelindo IImengenakan sanksi maksimum lima persen kepada kontraktor atasketerlambatan penyelesaian pekerjaan. Rekomendasi tersebut sudahdilaksanakan oleh Pelindo II yang bisa dibuktikan melalui surat ke BPKtertanggal 6 April 2015 mengenai tindak lanjut atas temuan BPK. Sebelumnya Pelindo II mengenakan denda empat persen kepada kontraktoratas keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Namun, kata Lino, menurut BPK, seharusnya dikenakan denda maksimum lima persen agar tidak terjadikekurangan penerimaan yang bisa dianggap sebagai kerugian keuangan negara. “Rekomendasi itu sudah kami jalankan dengan memberikan denda tambahan sebesar satu persen atau Rp 456,5 juta kepada kontraktor,” jelasnya. Terkait dengan penempatan mobile crane yang tidak sesuai dengan rencana investasi sebagaimana ditanyakan oleh BPK dalam auditnya, hal itu disebabkan adanya perubahan kebutuhan sejalan dengan perkembangan bisnis perusahaan. Semula pengadaan 10 mobil crane memang direncanakan untuk cabang Banten, Panjang, Palembang, Jambi, Teluk Bayur, Pontianak, Cirebon dan Bengkulu. Dalam perkembangan selanjutnya, Dewan Direksi sepakat merelokasi alatdengan pertimbangan mobile crane tersebut lebih dibutuhkan di Tanjung Priok, yang sedang menata pola layanan di setiap terminalnya. “Jadi, masalah audit BPK ini sebenarnya sudah clear,” tegasnya. Sebelum disita polisi, kata Lino, 10 unit mobile crane tersebut juga sudah beroperasi. Berdasarkan catatan log book dan nota jasa layanan, peralatan tersebut menghasilkan pendapatan Rp 3,7 miliar selama periode April 2014- Juli 2015 (http://www.jpnn.com; diakses tanggal 27 Februari 2017).

Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komjen Budi Waseso menjelaskan kronologi kasus Pelindo II, yang diungkapkan dalam rapat Panitia Khusus Angket Pelindo II DPR. "Kasus itu memang awalnya dari dasar laporan yang kami terima tanggal 8 Juni 2015," kata Budi Waseso yang disapa Buwas di gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa (20/10). Dia menjelaskan, kasus itu merupakan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait pengadaan 10 unit mobile crane oleh PT Pelindo II. Menurut dia, berdasarkan informasi yang diterima Bareskrim Mabes Polri, pengadaan barang itu dilakukan tidak melalui perencanaan yang benar. "Pengadaan itu tanpa perencanaan yang benar dan tanpa analisis yang benar sehingga tidak dapat digunakan," ujarnya. Buwas menjelaskan apa yang telah dilaksanakan Bareskrim selama penyelidikan sudah memeriksa delapan saksi dalam kasus ini. Delapan saksi itu, menurut dia, adalah Sigit Suryaputa, Dianur, Praktyoso Sayogi, Diah Nur, Dian Suryani, Kurnia Jaya, Devi Puspitasari dan Yuli Tarigan. "Sedangkan dokumen yang didapat adalah foto kopi dokumen rencana kerja, surat penawaran perusahaan pengadaan, surat pengumuman lelang, foto kopi pembukaan dokumen administrasi dan kopi dokumen keuangan," ujarnya. Dia mengatakan, Kepolisian melakukan penggeledahan atas izin pengadilan pada 28 Agustus 2015 yang dilakukan di beberapa gedung dan ruangan PT. Pelindo II. Buwas menjelaskan tempat yang digeledah adalan ruangan Dirut PT Pelindo, ruang kantor Direktur Teknis, kantor Direktur Keuangan, kantor Direktur Pengadaan, kantor Sekretaris Perusahaan, ruang IT, terminal Ops 01 dan 02 di Pelabuhan cabang Tanjung Priok. 
"Dari penggeledahan, Bareskrim menyita kontrak pengadaan dan dokumen pendukung lainnya," ujarnya. Menurut dia, penggeledahan yang saat itu dipimpin Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Victor Simanjuntak, juga menyita uang Rp 400 juta. Bareskrim, menurut dia, melibatkan BPK dan BPKP untuk mengaudit PT Pelindo II demi melanjutkan penyidikan dan audit internal Pelindo II juga sudah diamankan. "Polisi menyatakan hasil audit internal menunjukkan adanya penyimpangan pengadaan mobile craneSaat itu, katanya, Bareskrim juga berkoordinasi dengan Kejakgung dan juga menghubungi KPK untuk supervisi penyidikan karena pernah ditangani KPK. 
diakses tanggal 27 Februari 2017)
Referensi:
http://www.jpnn.com
http://nasional.republika.co.id



Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta
2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN AKUNTANSI FORENSIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Venti Eka Satya* 1 . Pendahuluan Istilah akuntansi forensik mulai dikenal luas di Indonesia sejak terjadinya krisis keuangan tahun 1997. Krisis yang semakin memburuk telah memaksa pemerintah untuk melakukan pinjaman pada IMF dan World Bank. Untuk memperoleh pinjaman, kedua lembaga tersebut mengharuskan dilaksanakannya Agreed-Upon Due Dilligence Process (ADDP) yang dilakukan oleh akuntan asing dan beberapa akuntan Indonesia.                 Temuan awal ADDP ini menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap dunia usaha . Sampel ADDP di enam bank menunjukkan perbankan melakukan overstatement di sisi aset ( assets ) dan understatement di sisi kewajiban ( liabilities ), (lihat Tabel 1.). [1] Tabel 1. Perbandingan Asset dan Liability LK (Laporan Keuangan) Bank dengan Temuan ADDP No. Nama Bank Aset per 30 April 1998 Kewajiban per 30 April 1998 Bank ADDP Over Statemen
KASUS AUDIT INVESTIGATIF Kasus Hambalang Andika Hamam Arifin Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis bahwa proyek bernilai Rp1,2 triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Pelajar Tingkat Nasional (National Training Camp Sport Center). Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan yang representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu, Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa Hambalang, Citeureup
DILEMA ETIKA SEORANG AUDITOR Dilema etika merupakan suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat untuk dilakukannya.  Para auditor, akuntan, serta pelaku bisnis lainnya menghadapi banyak dilema etika dalam karir bisnis mereka. Melakukan kontak dengan seorang klien yang mengancam akan mencari seorang auditor baru kecuali jika auditor itu bersedia untuk menerbitkan sutu pendapat wajar tanpa syarat, akan mewakili suatu dilema etika yang serius terutama jika pendapat wajar tanpa syarat bukanlah pendapat yang tepat untuk diterbitkan. Memutuskan apakah akan berkonfrontasi dengan seorang atasan yang telah menyatakan nilai pendapatan departemennya secara material lebih besar daripada nilai yang sebenarnya agar dapat menerima bonus lebih besar merupakan suatu dilema etika yang sulit. Tetap menjadi bagian manajemen sebuah perusahaan yang selalu mengusik dan memperlakukan para pegawainya dengan tidak layak atau melayani