KASUS AUDIT INVESTIGATIF
Kasus Hambalang
Andika Hamam Arifin
Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan
Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat,
menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis bahwa proyek bernilai Rp1,2
triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan
Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Pelajar Tingkat
Nasional (National Training Camp Sport Center).
Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim
verifikasi yang bertugas mencari lahan yang representatif untuk menggolkan
rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan Rapim Ditjen Olahraga
Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi pembangunan
pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai
layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu,
Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi
desa Hambalang, Citeureup, Bogor. Tim melihat, lahan di Hambalang itu sudah
memenuhi semua kriteria penilaian tersebut di atas. Sehingga lokasi tersebut
dipilih untuk dibangun.
Menindaklanjuti pemilihan Hambalang,
Dirjen Olahraga Depdiknas langsung mengajukan permohonan penetapan lokasi
Diklat Olahraga Pelajar Nasional kepada Bupati Bogor. Bupati Bogor menyetujui
dengan mengeluarkan Keputusan Bupati Bogor nomor 591/244/Kpes/Huk/2004 tanggal
19Juli 2004. Sambil menunggu izin penetapan lokasi dari Bupati Bogor
tesebut, pada 14 Mei 2004, Dirjen Olahraga telah menunjuk pihak ketiga yaitu PT
LKJ untuk melaksanakan pematangan lahan dan pembuatan sertifikat tanah dengan
kontrak No.364/KTR/P3oP/2004 dengan jangka waktu pelaksanaan sampai dengan 9
November 2004 senilai Rp4.359.521.320.
Namun, ternyata lokasi Hambalang itu masuk
zona kerentanan gerakan tanah menengah tinggi sesuai dengan peta rawan bencana
yang diterbitkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)
Kementerian ESDM. Sesuai dengan sifat batuannya, PVMBG menyarankan untuk tidak
mendirikan bangunan di lokasi tersebut karena memiliki risiko bawaan yang
tinggi bagi terjadinya bencana alam berupa gerakan tanah.
Selain itu, status tanah di lokasi
dimaksud masih belum jelas, meskipun telah dikuasai sejak pelepasan/pengoperan
hak garapan dari para penggarap kepada Ditjen Olahraga setelah realisasi
pembayaran uang kerohiman kepada para penggarap sesuai Berita Acara Serah
Terima Pelepasan/Pengoperan Hak Garapan tertanggal 19 September 2004.
Sejak itulah area tanah tersebut diakui sebagai aset
Ditjen Olahraga dan kemudian pada tanggal 18 Oktober 2005 diserahterimakan
kepada organisasi baru yaitu Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora)
setelah Ditjen Olahraga berubah menjadi Kemenpora. Menpora saat itu, Adhyaksa
Dault mengakui bahwa untuk membangun pusat olahraga pihaknya mengajukan
anggaran sebesar Rp125 miliar. Karena proyek tersebut awalnya bukan untuk
pembangunan pusat olahraga. Melainkan hanya pembangunan sekolah olahraga. "Rekomendasi awalnya, di sana hanya untuk
bangun sekolah olahraga dua lantai dan saya tidak tahu bagaimana ceritanya
berubah menjadi sport center," kata Adhyaksa saat berbincang dengan
VIVAnews.
Nilai proyek ini kemudian melejit hingga
Rp2,5 triliun saat Kemenpora dipimpin oleh Menteri Andi Mallarangeng. Hal
tersebut terungkap dalam audit Hambalang, bahwa pada tanggal 8 Februari 2010
dalam Raker antara Kemenpora dengan Komisi X, Menpora menyampaikan rencana
Lanjutan Pembangunan tahap I P3SON di Bukit Hambalang Rp625.000.000.000.
Permintaan itu diajukan karena dalam DIPA Kemenpora TA 2010 baru tersedia Rp125
miliar. Menpora Andi Mallarangeng juga menyampaikan bahwa usulan tersebut
merupakan bagian rencana pembangunan P3SON Bukit Hambalang Sentul yang secara
keseluruhan memerlukan dana sebesar Rp2,5 triliun.
Andi Mallarangeng pun menghormati hasil audit BPK atas proyek Hambalang tersebut.
Bahkan dirinya mendukung perlu adanya pihak yang bertanggung jawab jika memang
ditemukan adanya penyimpangan. "Sebagai menteri tentu saya menjalankan
tugas sebaik-baiknya termasuk dalam hal pengawasan," kata Andi.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi
Poernomo menyebut total kerugian negara akibat Proyek Hambalang sebesar
Rp463,67 miliar. Hal itu disampaikan dalam paparan laporan hasil audit
Hambalang Jilid II di ruang pimpinan DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (23/8).
"BPK menyimpulkan ada indikasi kerugian negara sebesar Rp463,67 miliar
akibat adanya indikasi penyimpaangan dan penyalahgunaan wewenang wewenang yang
mengandung unsur-unsur pidana yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam
pembangunan P3SON Hambalang," paparnya.
Pelanggaraan tersebut terletak pada
beberapa tahapan. Pertama, proses pengurusan hak atas tanah. Kedua, proses
pengurusan izin pembangunan. "Ketiga, proses pelelangan. Keempat, proses
persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak," tambahnya.
Kelima, pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan keenam, pembayaran dan aliran dana
yang diikuti rekayasa akuntansi.
Terkait proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan
Kontrak Tahun Jamak, BPK juga menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor: 56/PMK.02/2010 yang diganti dengan PMK Nomor:
194/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak
Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diduga mengalami penurunan makna
substantif dalam proses persetujuan Kontrak Tahun Jamak. Hal ini dapat
melegalisasi penyimpangan semacam kasus hambalang untuk tahun-tahun berikutnya.
Hasil Audit Forensik Kasus Hambalang
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Hadi Purnomo memaparkan sejumlah hasil audit terhadap kasus Hambalang ke
DPR. Menurutnya laporan audit investigasi kasus Hambalang dilakukan dua
tahap. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kasus Hambalang tahap I dilakukan pada
30 Oktober 2012.
Hasilnya telah disampaikan ke DPR. Dalam
LHP tahap I, BPK menyimpulkan ada indikasi penyimpangan terhadap peraturan
perundang-undangan atau penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan tahun
jamak, proses pelelangan, proses pelaksanaan konstruksi, dan dalam proses
pencarian uang muka yang dilakukan pihak terkait dalam pembangunan Hambalang
yang mengakibatkan timbulnya indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya Rp
263,66 miliar.
Artinya, LHP tahap I dan II merupakan satu satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya secara komprehensif menyajikan
berbagai dugaan penyimbangan dan/atau penyalahgunaan wewenang dalam pembangunan
Hambalang.
Dalam LHP tahap II, terang Hadi, BPK
menyimpulkan terdapat indikasi penyimpangan dan/atau penyalahgunaan wewenang
yang mengandung penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam
pembangunan proyek hambalang. Penyimpangan wewenang itu terjadi pada proses
pengurusan hak atas tanah, proses izin pembangunan, proses pelelangan, proses
persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak, pelaksanaan pekerjaan
konstruksi, pembayaran, dan aliran dana yang di ikuti dengan rekayasa
akuntasi dalam proyek Pusat Pendidiakn Pelatihan dan Sekolah Olahraga
Nasional (P3 SON), Hambalang.. Dalam LHP tahap II ini BPK kembali
menemukan adanya penyimpangan dalam proses pengajuan dan kerugian negara
mencapai Rp471 miliar.
Berikut kesimpulan LHP tahap II BPK soal Hambalang;
1.
Bahwa permohonan
persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri Keuangan atas
proyek pembangunan P3 SON Hambalang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang
ditetapkan dalam peraturan yang berlaku, sehingga selayaknya permohonan
tersebut tidak dapat disetujui Menteri Keuangan.
2.
Bahwa pihak-pihak
terkait secara bersama-sama diduga telah melakukan rekayasa pelelangan untuk
memenangkan rekanan tertentu dalam proses pemilihan rekanan pelaksana proyek
pembangunan P3 SON Hambalang.
3.
Bahwa pihak
Kemenpora selaku pemilik proyek tidak pernah melakukan studi amdal maupun
menyusun DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup) terhadap proyek pembangunan
P3 SON Hambalang sebagaimana yang diamanatkan UU Lingkungan Hidup. Persyaratan
adanya studi amdal terlebih dahulu sebelum mengajukan izin lokasi, site plan,
dan IMB kepada Pemkab Bogor tidak pernah dipenuhi oleh Kemenpora.
Terkait dengan persetujuan RAK K/L dan
persetujuan tahun jamak, BPK juga menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri
Keuangan No 56/2010 yang diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011
tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011
patut diduga bertentangan dengan Pasal 14 UU No 1/2004. Peraturan tersebut
diduga untuk melegalisasi dugaan penyimpangan yang telah terjadi. Pencabutan
Permenkeu No 56/2010,mengindikasikan adanya pembenaran atas ketidakbenaran atau
penyimpangan atas Pasal 14 UU No 1/2004. Berbagai indikasi penyimpangan yang
dimuat dalam LHP tahap I dan II mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 463,67
miliar. Yaitu senilai total dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk
pembayaran proyek pada 2010 dan 2011 sebesar Rp 471, 71 miliar. Dikurangi
dengan nilai uang yang masih berada pada KSO AW sebesar Rp 8,03 miliar.
Kesimpulan tersebut, didasarkan pada
fakta-fakta sebagai berikut. Kemenpora tidak pernah memenuhi persyaratan untuk
melakukan studi amdal sebelum mengajukan izin lokasi. Kemudian, setplant dan
izin mendirikan bangunan kepada pemkab Bogor atau menyusun dokumen evalusi
lingkungan hidup mengenai proyek Hambalang.
Permohonan persetujuan tahun jamak dari
Kemenpora kepada Menteri Keuangan atas proyek Pembangunan Hambalang, kata Hadi,
tidak memenuhi persyaratan sebagai mana yang ditetapkan dalam peraturan yang
berlaku. Sehingga sudah seharusnya permohonan tersebut ditolak.
Opini Penyelesaian
Kasus
Setelah membaca kasus dari artikel
tersebut, sedikit opini yang bisa saya berikan menurut dari sisi pengetahuan
ilmu audit, khusus nya audit forensic yakni kasus tersebut termasuk kedalam
jenis skim kecurangan (fraud) : Korupsi (Corruption).
Jenis fraud ini yang paling sulit
dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan
korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di
negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang
kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih
dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para
pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisma). Termasuk
didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of
interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal
gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
Berikut merupakan program audit forensic yang dapat
saya utarakan :
a.
Tujuan audit
•
Mendeteksi dan
membuktikan adanya fraud dan mendeteksi pelakunya.
•
Mendeteksi dan
menghitung kerugian keuangan negara yang disebabkan tindakan
fraud.
b.
Prosedur audit dan
pengujian/testing
Prosedur audit forensik utamanya
ditekankan pada analisis laporan / analytical review dan teknik wawancara
mendalam / in depth interview walaupun demikin masih juga tetap menggunakan
teknis audit secara umum pengecekan fisik, rekonsiliasi dan konfirmasi.
Audit forensik biasa dilakukan dengan melalui beberapa
tahapan yaitu:
·
Memperoleh
informasi awal fraud
·
Memperoleh
informasi tambahan bila diperlukan
·
Melakukan analisis
layak tidaknya diinvestigasi dari data yang tersedia
·
Menciptakan dan
mengembangkan hipotesis-hipotesis yang didasarkan pada hasil analisis
·
Melakukan
pengujian terhadap hipotesis
·
Memperbaiki maupun
mengubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian
·
Mengumpulkan
bukti-bukti fraud
·
Evaluasi
bukti-bukti
·
Menyusun laporan
LHF.
Pengujian / testing terdiri dari :
•
Pengujian terhadap
fisik/physical examination yang meliputi penghitungan uang tunai, kertas
berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya.
•
Uji Tuntas (Due
diligence) Uji tuntas atau Due diligence adalah istilah yang digunakan untuk
penyelidikan guna penilaian kinerja perusahaan atau seseorang , ataupun kinerja
dari suatu kegiatan guna memenuhi standar baku yang ditetapkan. Uji tuntas ini
biasanya digunakan untuk menilai kepatuhan terhadap hukum atau peraturan.
c.
Alat bantu auditor
forensic
Salah satu alat bantu auditor forensik
adalah ilmu tentang akuntansi forensik (forensic accounting). Profesi audit
sangat menekankan pentingnya bukti audit. Bukti-bukti audit yang diperoleh
dalam audit forensik harus dapat memenuhi aspek legal, artinya memiliki
kekuatan hukum apabila diperlukan untuk siding dipengadilan.
Posted By : Kantor Akuntan Publik Kuncara
KKSP Jakarta
2017
Komentar
Posting Komentar